Selasa, 20 Desember 2011

Short Story: IN OTHER WORDS


            Endra, a classmate in my English course, baffled me. Sometimes he was very nice to me. At other times he was totally unbearable.
            Once he stayed with me for almost three hours while I was waiting for my father to pick me up after class. I told him he didn’t have to, but he said he didn’t mind.
            I was happy that he stayed (not that I would ever admit it to him). We talked about many things, from Cinta Laura to the latest kind of pizza from Pizza Hut, ChickenRoni.
            Two weeks ago, I sat next to him during class. When the class began I couldn’t find my book. I thought I had taken it out of my bag, but somehow it had disappeared. I asked Endra to share his book with me.
            “Ask me nicely.”
            “What?!” My voice rose
            “You heard me, Atrila. C’mon, say it: Endra would you share your book with me?”
            I glared at him. He was definitely enjoying this. But I needed him to let me look at his book. I didn’t want to miss anything, especially because Ms. Judi was explaining a grammar point that was going to be tested the next meeting.
            “Don’t forget to say ‘pleeeeease’!”
            Crossly I said what he wanted me to say. So he let me share this book during class. Most of time, though, he gave me the impression that he was not really sincere about doing it. He also  tested me in a rather annoying way about my not having brought my book. I didn’t argue. Instead, I tried to focus on the lesson.
            When class was over, we walked out into the hall together. Endra took a book out of his bag and handed it to me.
            “Here’s your book. I had it all the time.” Then he ran away, laughing like a maniac! I stared after him incredulously.
            “Endraaa! I hate you!” I yelled
            He only ran faster and laugh harder. He shouted something that sounded like “jegelskerdeg.”
            “whatever!” I shouted back. I was really angry with him. And I got angrier when I leafed through my book and found the words “Jeg Eslker Deg” written in blue ink all over the first page.
            I didn’t get it. How could a 15-year-old boy be so nice and horrible at the same time? I remembered the pleasant moments we shared. The ice cream we enjoyed together, some opinions we had in common about our teachers. On the other hand, there were also those times when he pulled my hair, made fun of me in front the class, and left me at the cafeteria to pay for his meal… Arrggh!
            The next two class meetings were quit for me. Endra was absent. I was different… I was concerned… I was nonchalant… I was worried… I was arrogant… I didn’t want be the first to call or text him. But then again, I wanted to…
            While waiting in the lobby for an earlier class to finish, I rifled trough a magazine I had taken from the magazine stand. There was an interesting article titled “Languages of Love.” I spent about 15 minutes reading it.
            Oh my God!
           
            “Hey, Atrila.”
            “Hi. Where have you been?”
            “Around.”
            “Mmm, so…”

Jeg Eslker Deg – I love you ( Norwegian ).

The End

Kamis, 15 Desember 2011

Hmmm...

Dear someone,

You know? you're the only person who
can make my heart beat like
i have just been to a race, when i faced you...

LOL. Bullshit!!!!

But...you know, the reason is...

Get Your Music On!!!

Music is heartache.
Music is salvation.
Music is love. 
Get your music on!!!

 



Selasa, 13 Desember 2011

Cerpen: GELAP DAN CAHAYA

Velice berjalan acuh, tak memperhatikan sekitarnya, mencoba terus menatap tegak ke depan. Sementara itu remaja berkostum putih abu-abu di sekelilingnya menatapnya aneh, heran. Velice merasa maklum -pertama- ia baru pindah ke sekolah ini hari ini, -kedua- ia memakai jaket hitam, tas selempang hitam, kalung hitam pas leher, gelang-gelang hitam garang, kaus kaki hitam, dan sepatu sneakers hitam –yang dalam konteks ini mungkin warna yang aneh untuk dipakai remaja yang pergi ke sekolah-. Mungkin, Velice hanya bisa menebak, setelah itu ia angkat bahu. Sepasang mata bening memperhatikannya dari jauh, lalu memutuskan untuk menghampirinya. “Gothic style!” Komentar pemuda itu tanpa diminta. Gadis berkulit putih itu tersenyum simple, “Gue bukan anak gothic, rock underground, metal atau semacamnya, kebetulan aja suka banget sama hitam!” Ia mencoba menjelaskan dengan ramah. Venice pikir -berhubung di sekolah ini ia belum punya teman- lebih baik mencari teman daripada mencari musuh. “Wow, sounds cool and…” Pemuda itu mencari kata yang tepat. “Weird! Yeah…” Velice bisa menebak pikirannya, komentar yang umum baginya. “Rare…unique!” Pemuda berambut spike itu meralat, mungkin memperhalus tepatnya. Sejurus kemudian tangannya telah terjulur, meminta kenalan. “Rando!” Ucapnya memperkenalkan diri. Velice menimbang sebentar, lalu menggenggam hangat tangan itu, “Velice!” Balasnya. “Anak baru? Kelas berapa?” Tembak Rando. “Hmm!” Velice mengangguk. “Sebelas ipa tiga!” “Wow, good! Sekelas dong sama gue! Sini!” Rando mengajaknya ke kelas. “Tunggu! Gue mau ke ruang kepala sekolah dulu! Kasih berkas-berkas dan…“ Velice berkernyit menyesal, tidak enak hati pada uluran tangan Rando. “It’s okay! Nggak apa-apa! Gue tunggu di kelas!” Senyum ramah Rando, mencoba mengusir rasa bersalah Velice. Lalu pemuda tampan itu berlalu menjauh. Velice melanjutkan langkahnya yang tadi sempat tertunda. Rando kembali ke kelas, suasana kelas riuh seperti biasa. Ia duduk di bangkunya, merenungi tenang sosok yang baru ditemuinya. Gadis yang penuh dengan aura kegelapan, nuansa kelam yang terlihat dari sinar mata dan gerak lakunya. Seolah berasal dari dunia gelap yang tanpa dasar. Entah apa yang pernah dialami gadis itu, tapi yang pasti jiwanya terlihat begitu kelam, seperti pernah dilumpuhkan kenangan buruk di masa lalu. “Udah liat anak barunya belum lu?” Tanya Wicky, teman sebangkunya. “Gothic!” Gumam Rando tak menyadari. “Hah, lu udah lihat?” Wicky mengartikan respons sahabatnya dengan kata ‘sudah’. “Eh, oh…iya!” Rando baru ngeh tentang pertanyaan itu. “Namanya Velice, she is so…gothic!” Bisik Wicko sok dramatis. “Hah, udah kenalan juga? Hebat lu!” Mata Wicky berbinar kagum, telah lama ia iri dengan kharisma Rando yang begitu mudah menarik perhatian para gadis, walau hal itu bukan kemauan Rando sendiri. Jam istirahat tiba, Rando sudah memboyong Velice menuju kantin beserta sahabatnya yang lain. Wicky tentu ikut, mengajak pula pacarnya, Febby, agar Velice tak segan. Kali ini ia bertindak selaku tuan rumah dan guide yang baik. Selesai memilih satu set meja memanjang, mereka mendudukinya, sebagian mulai berpencar mencari jajanan. Velice dan Rando memutuskan untuk langsung duduk. Rando mengamati Velice, tak habis pikir dari mana aura gelap itu menguapi tubuh Velice. Padahal gadis di depannya jelas lebih dari cantik, tapi seperti…kurang jiwa. Mengingatkan pemuda itu pada tingkah Julie Estelle di film kuntilanak, semacam itulah kelamnya sosok di depannya. “Kenapa lihatin gue begitu? Aneh?” Velice agak risih dengan cara Rando memandangnya. “Oh, maaf! Gue cuma heran, gimana bisa cewek manis kayaklu suka warna hitam!” Rando berharap pertanyaan itu bisa memancing untuk mengetahui masa lalu kelam seperti apa yang pernah gadis itu lalui. “Bukan cuma hitam, tepatnya mungkin gue suka gelap!” Umbar Velice. “Gelap?!?” Rando tertarik, “Biasanya cewek nggak suka gelap, takut sama kegelapan?!?” Rando bingung, tapi agaknya gadis ini memakan umpannya. “Menurut gue gelap itu nyaman! Gelap itu…melindungi!” Pandangan gadis itu menerawang. Ingatannya melayang pada bayangan di dinding yang memantulkan cahaya halilintar dari jendela yang basah terkena derai hujan. Dengkingan suara jerit tangis wanita yang disayanginya beserta sosoknya yang hanya sekelebat siluet di gelapnya malam. Dua sosok yang sibuk dengan konflik yang bayangannya terpantul di dinding putih. “Gue nggak ngerti deh maksudlu! Apa alasanlu berpendapat gelap itu melindungi? Kayaknya persepsilu beda dari yang lain!” Rando mulai mengulur umpannya. Tapi beberapa teman mereka mulai berkumpul lagi, menyemarakkan meja itu. Riuh obrolan mulai terdengar di meja memanjang itu. “Menurut gue itu bukan hal yang cocok diomongin di tempat dan waktu yang kayak gini!” Ucap Velice mengusaikan pembicaraan pribadinya. Rando urung menggenggam hasil pancingannya, namun dibiarkannya saja, toh ia tak perlu terburu-buru. “Dan gue harus pastikan gue bicara pada orang yang tepat!” Gumam Velice menambahkan. “You can trust me!” Gumam Rando meyakinkan.
Gadis itu memperhatikan jarum detik yang bergulir di jam dinding. Sudah pukul setengah sepuluh malam, sosok yang ditunggunya belum juga pulang. Terdengar suara pagar depan dibuka, sesaat kemudian muncul wajah yang dinanti dari balik pintu. “Kakak lama banget pulangnya!” Ucap Velice sejurus kemudian. Ia bersyukur, tampilan kakaknya itu masih rapi dan tampan, tak sedikitpun ada tanda bahwa pemuda itu baru saja membunuh orang. Entah bagaimana cara pemuda itu melakukan pembunuhan dengan rapi. “Sorry!” Pemuda berbadan tegap itu mendekati adiknya, mencium keningnya, lalu mengeluarkan sebuah dompet dari mantel hitamnya. Velice mengamati wajah tampan itu. Benaknya tak percaya wajah malaikat ini tega menghabisi nyawa manusia setiap malam, dan itu dianggap kelezatan baginya. Velice meraih dompet yang tak dikenalinya itu, pasti sisa dari mangsa kakaknya. Diperhatikannya dompet hitam itu, setitik noda merah meremangkan bulu kuduknya. Ia tak mau memikirkan darimana asal darah itu dan bagaimana nasib si pemilik dompet ini di tangan kakaknya. Dibukanya, ia disambut oleh kartu tanda penduduk yang sangat mengganggunya. Velice tak mau melihat foto apapun milik si pemilik dompet, ngeri membayangkan nyawa orang yang ada di foto telah berakhir dirampas kakaknya dengan semena-mena. Ia sebetulnya ngeri dengan kelainan kakaknya ini, tapi ia tak bisa menyalahkan kakaknya sepenuhnya. Ini akibat masa lalu mereka yang keras, yang membuat Velice maklum akan kelainan kakaknya. Ia selama ini begitu takut kehilangan kakaknya, satu-satunya keluarganya yang tersisa. Jadi ia rela terus menahan diri walau rasanya ngeri tinggal bersama monster yang semakin hari semakin banyak menghabisi nyawa manusia. Ia hanya bisa melindungi kakaknya dari apapun yang bisa memisahkannya dengan kakaknya, walaupun itu sekedar rumah sakit jiwa sekalipun. Velice tahu bahwa kakaknya seorang psikopat, tapi menurutnya kakaknya tidak gila. Lihatlah bagaimana pemuda tampan yang rapi dan bersih ini mengecup dahinya tadi, lihatlah senyum lembutnya yang menenangkan sepulangnya dari kebiasaannya. Virion tampak begitu manusiawi, begitu tidak mengkhawatirkan. “Isinya ada lumayan tuh!” Ucap Virion sambil lalu, mengambil cemilan pengganjal perut di dapur. Tiba-tiba Velice merasa muak. Muak membayangkan uang di dompet itu, bajunya, semua yang ia beli selama ini berasal dari uang rampasan setiap nyawa yang juga dirampas kakaknya. Semuanya seolah memerlukan tumbal, setiap benda yang ia punya mencerminkan betapa tidak berharganya nyawa manusia di mata kakaknya. Setiap rupiah yang mereka kumpulkan sebanding dengan jumlah nyawa yang telah hilang. Ia merasa sebagai penghianat kaum manusia, melindungi monster yang tinggal dirumahnya dan membiarkannya mengancam eksistensi manusia. Semakin lama ia melindungi monster itu, semakin banyak nyawa yang akan habis ditangannya. Velice telah sampai ke alam privasinya, kamarnya. Tapi springbed dan bantal empuk tak bisa menenangkan pikirannya kali ini. Ia menukar posisi dengan duduk bersenderkan dinding. Kamar kakaknya tepat disebelah, terhubung dengan ventilasi persegi panjang dengan kamarnya. Ia tahu kakaknya belum tidur. Diliriknya dompet itu, ingin ia meminta maaf pada entah berapa nyawa yang habis percuma karena kakaknya. Ia ingin menjelaskan pada mereka agar tak menyalahkan kakaknya, kakaknya cuma korban trauma masa lalu. Masa yang berat dimana ruangan selalu gelap karena listrik yang tak sempat dibayar. Suara yang menggelegar marah di rumahnya menebarkan ketakutan, hingga malam itu. Malam dengan derai hujan dan halilintar yang seolah sengaja mendramatisir suasana.Sepuluh tahun lalu, Velice kecil dan kakaknya, Verion, menuruni tangga rumah begitu mendengar suara menggelegar itu. Mereka tahu ayah mereka telah pulang dan memulai pertengkaran lagi. Begitu mereka turun, mereka dihadapkan oleh konflik suami isteri itu. Biasanya mereka akan bersembunyi agar tidak kena getahnya, seperti juga kali ini. Khawatir dengan ibunya, mereka memutuskan bersembunyi di balik sofa dan terus mengawasi peristiwa yang terjadi dari bayangan di tembok putih itu. Malam saat itu terang karena halilintar, pantulan bayangan membantu merepresentasikan keadaan yang terjadi. “Kak, aku takut!” Keluh Velice waktu itu. “Ssstt! Disini gelap! Dalam gelap kita terlindungi” Kakaknya menenangkan dengan lembut, dirangkulnya adiknya dengan sikap melindungi. Virion sebenarnya sama ketakutannya, tapi ia memang bocah yang kuat, selalu berjuang demi adiknya. Jeritan histeris itu beda, menyayat hati dan mengkhawatirkan, sesaat tembok tak lagi putih bersih. Bunyi benda jatuh membuat jantung kedua bocah itu berdegup kencang, khawatir. Terdengar derap langkah ayah mereka mendekati pintu, padahal pintu tepat di sebelah kiri mereka, hanya berjarak dua meter dan dari posisi itu sosok mereka pasti akan terlihat. “Kak!” Suara Venice bergetar. Kakaknya masih memasang wajah tenang, mencoba mengusir kekhawatiran adiknya dan menekan kehawatirannya sendiri. Ayah mereka membuka pintu dan keluar, untungnya tak menyadari keberadaan mereka. Virion menghembuskan nafas lega. “Tuh kan, untung gelap! Kalau gelap kita terlindung!” Bisiknya pada adiknya. Adiknya tertegun, menyadari sesuatu. “Ibu!!” Pekiknya khawatir. Kedua bocah itu segera mendekati siluet yang tersungkur tak berdaya. Terlihat cairan merah kental di lantai dan seiring dengan menggelegarnya halilintar kali itu terdengar lagi jeritan histeris, kali ini dari kedua bocah malang itu. Esoknya, mayat ayah mereka ditemukan di luar rumah, kehabisan darah setelah menyayat tangannya sendiri. Mayat ibunya sendiri di ruang tengah rumah digenangi darah yang mengucur dari luka tusukan di perutnya. Velice tersadar dari kenangan buruknya. Ingat akan kebiasaan kakaknya yang mengerikan. “Kak!” Panggilnya. “Hmm!” Terdengar jawaban malas dari kamar sebelah. “Kakak janji ya, nggak akan sakiti orang yang aku kenal!” Peringat Velice, merasa perlu mengingatkan hal itu sekali lagi. Seram rasanya hari ini melihat wajah yang familiar, atau bahkan yang baru ditemui sekalipun, tiba-tiba esok hari mereka tidak lagi bernyawa. “Percaya sama kakak! Makanya kamu kenalkan sama kakak siapapun yang kamu kenal! Atau setidaknya fotonya!” Ucap Velice meyakinkan. “Satu lagi! Tolong jangan bawa identitas orang yang kakak bunuh ya! Aku nggak perlu dan nggak mau lihat KTP atau foto korban kakak di dompet yang kakak kasih ke aku!” Velice melirik dompet itu sebal. “Iyaa!” Virion masih meladeni. Velice menghela nafas, “Kakak bisa nggak berhenti bunuh orang?” Pintanya berharap. “Aku takut kehilangan kakak!” Ia menjelaskan agar kakaknya tidak tersinggung. “Kakak tidak melakukan dengan gegabah kok! Kalau soal polisi kamu tenang saja!” Virion menerangkan dengan percaya diri. Bukan jawaban itu yang Velice mau. Ini bukan hanya masalah polisi atau eksekusi mati sebetulnya, ia juga tidak mau korban bertambah. “Kakak nggak bisa ya berhenti melakukan ini? Demi aku sekalipun?” Ia tahu, sangat riskan membahas kelainan itu, ia takut kakaknya tersinggung. Tidak lagi terdengar jawaban, entah kakaknya sudah tidur atau masih terjaga. Tapi kalaupun terjaga, kakaknya pasti malas menjawabnya. Velice tahu, candu itu telah begitu dalam menggerogoti jiwa kakaknya. Bagi Velice, membunuh itu bagai candu yang memuaskan di saat sakaunya. Velice tahu penyakit ini sudah begitu parah merasuki tubuh Virion, kakaknya yang sebenarnya sangat lembut.
Velice memasuki kelas barunya, duduk di bangku yang kemarin. Teman sebangkunya telah datang lebih dulu. “Lu udah dapat buku pelajaran?” Sapa gadis berkacamata itu. Clara namanya, ternyata juga akrab dengan Rando. Rando telah berjasa mengenalkan Velice pada banyak temannya. “Belum!” Velice menjawab singkat. “Oh ya udah, nanti pinjam buku gue aja dulu! Sekalian catatan gue lu fotokopi aja!“ Saran Clara. “Oke, thanks ya!” Velice tersenyum simpul. Tiba-tiba ia teringat obrolannya dengan kakaknya semalam. “Clara, lu punya facebook?” Tanyanya, ia pikir teknologi akan sangat membantu menyelamatkan Clara kali ini. Untuk apa ada teknologi kalau tidak digunakan? Daripada susah-susah memotret dulu Clara dari HPnya dan menunjukkannya ke kakaknya, akan lebih efektif menunjukkan facebooknya sekalian dan foto semua teman yang ia add untuk menghindari mereka dari keganasan kakaknya. “Punya!” Clara mengangguk semangat. “Add gue ya!” Velice meminta, lalu menuliskan alamat facebooknya. “Wow, oke! Nanti kita FB-an deh ya!” Clara merespons akrab. Velice tersenyum, maksudnya tentu bukan itu. Ia jadi berfikir untuk mendapatkan foto semua temannya lewat facebook mereka, itu jalan yang paling wajar dan tidak mencurigakan. Semakin cepat ia dapat semua foto mereka, semakin cepat mereka aman. “Eh, Rando punya FB nggak ya Yan?” Tanyanya, nama itu yang terbersit pertama kali di benak Venice untuk diselamatkan. “Tahu tuh, belum bikin kali! Waktu itu gue udah nge-add anak-anak sekelas, cuma dia doang yang nggak gue temuin FBnya!” Info Clara. Wah gawat! Benak Velice. “Ciee, kenapa nih langsung nanyain Rando?” Clara tersenyum genit. “Ya…ya bukan!” Velice baru sadar, aneh juga yang teringat pertama justru Rando. “Kan dia teman pertama gue di sekolah ini, jadi maklum kalo gue ingat dia duluan kan!” Velice beralasan, tapi walau berusaha menampik, terlihat wajah putihnya bersemu kemerahan. “Oh ya? Kok panik? Mukanya kok merah siih?” Clara menggoda lagi. Kok muka gue panas ya? Masa sih gue secepat itu suka sama orang? Nggak ah! Gue merasa berkewajiban ngelindungin dia pertama kali kan karena dia emang teman pertama gue! Velice bingung sendiri. Pasti ia Cuma malu karena digoda Clara.“Kok diem? Nggak kok, gue cuma bercanda! Lagian kalo lu beneran suka sama Rando nggak apa-apa kok! Toh dia belum punya pacar!” Clara mengusaikan candaannya, takut teman barunya tersinggung. ”Nggak punya pacar?” Entah kenapa rasa lega menyusupi relung hati Velice. “Iya!” Clara mengangguk meyakinkan. “Mau daftar?” Tawarnya menggoda lagi. “Nggak! Cuma..heran aja! Kok bisa cowok keren kayak dia belum punya pacar?” Tanya Velice. “Tuh kan lu ngaku kalo dia keren!” Clara mulai iseng lagi. “Ya tapi kan gue nggak bilang gue suka!” Velice mengingatkan. “Tau tuh, belum bisa lupain almarhumah pacarnya kali!” Jawab Clara ringan. “Almarhumah pacar?“ Velice merenungi heran. “Lu tuh kayak beo ya, ngulang mulu!” Protes gadis berambut sebahu itu. “Iya, dia ditinggal mati pacarnya! Padahal dulu tuh dia cinta banget loh sama ceweknya itu, soalnya katanya ceweknya yang ngeluarin dia dari masa-masa kegelapannya, masa-masa kelam gitu deh!” Clara berusaha sabar menerangkan. “Masa-masa kelam?” Velice bergumam lagi, penasaran. “Duh, lu udah tiga kali ya ngulang! Sekali lagi lu dapat piring cantik loh!” Clara bercanda. ”Iya, dulu kan dia nggak seceria ini, dulu dia kayak mayat hidup! Kayak…nggak berjiwa gitu deh! Mati segan hidup nggak mau kali istilahnya!” Clara menjelaskan. “Gue sih maklum, gimana nggak syok ditinggal semua anggota keluarga beserta rumah dan hartanya dalam kebakaran!” Clara menceritakan. “Cuma dia yang selamat!” Ia menambahkan sok dramatis. Velice tertegun, baru tahu jalan hidup kelam yang dialami Rando. Ia tak habis pikir bagaimana Rando masih bisa tertawa ceria dan tersenyum tulus setelah kejadian itu. Velice saja sudah lupa caranya tertawa, tersenyum pun rasanya perih. “Yah tapi syukur deh dia masih bisa ceria kayak sekarang ! Mungkin…berkat ajaran dari almarhumah ceweknya itu kali dia bisa lebih tegar jalani hidup!“ Clara mengomentari. Apa boleh? Masih bisa merasa senang dan ceria setelah kematian orang yang kita sayangi? Renung Velice. “Apa boleh?“ Tanpa sadar Velice bergumam menyuarakan pikirannya. Velice merasa itu kurang etis, tidak sesuai dengan pandangannya selama ini. “Apa ?“ Clara tak paham gumaman temannya itu. “Oh nggak!“ Velice membatalkan niatnya, ia pasti dianggap aneh kalau menanyakan hal itu. Lagipula Clara bukan orang yang tepat untuk ditanyai, lebih baik tanya ke orang yang sama-sama pernah merasakan kematian orang yang disayangi dengan tragis, seperti Rando misalnya. Velice menyelempangkan tasnya dan segera keluar dari kelas. Akhirnya waktu belajar sekolah usai juga, ia terbiasa langsung pulang dengan ojek. “VELIIIICE!” Panggil suara yang dikenalnya. Velice menengok ke belakang, benar, Rando yang memanggilnya. “Lu mau langsung pulang ya?” Tanya Rando. “Iya!” Venice mengangguk. “Temenin gue makan dulu yuk! Gue laper banget nih!“ Rajuk Rando mirip anak kecil. Pemuda ini entah kenapa selalu bisa dengan cepat mengakrabkan diri dengan orang baru, dengan orang sedingin Velice sekalipun. “Hah, makan? Dikantin?” Velice menimbang-nimbang. “Jangan dikantin deh! Bosen!” Mimik Rando yang menolak masih mirip anak kecil. “Memang teman-temanlu yang lain pada kemana?” Velice heran, agak risih juga kenapa hanya dia yang diajak. “Pada sok sibuk semua! Ada yang les, mau latihan futsal, ekskul, apalah! Tuh, tanya aja Wicky! Dia juga jahat banget nggak mau temanin gue!” Adu Rando kekanak-kanakan. “Gue tunjukin deh ke elu tempat makan favorit gue! Nggak mahal kok, warung tenda! Amigos gitu!“ Rando mempromosikan dengan tengil. Velice merasa lucu melihat cara bicaranya. “Apaan tuh?” Velice tidak paham. “Agak minggir got sedikit!” Rando menaik turunkan alisnya genit. “Nggak apa-apa ya! Enak kok, muantep, maknyosss!” Promosinya semangat. Velice merasa geli, melihat bakat Rando...agaknya Rando bisa mempromosikan produk lebih baik daripada Public Relation yang handal sekalipun. Velice terkekeh. “Lu berbakat jadi tukang iklan Do!” Ledeknya ringan. “Kok tukang sih? Kalo bintang iklan mungkin iya! Emang tampang gue keren sih!” Rando malah narsis sendiri, membuat Velice tambah geli. “Bukan, maksud gue yang kayak tukang obat itu loh! Promosiinnya pakai teriak-teriak!” Velice menggoda sambil cekikikan. “Nah gitu dong ketawa! Baru kali ini gue lihat lu ketawa!“ Gumam Rando kemudian. Velice memergokinya sedang memandangnya dengan senyum bersyukur. Tak disangkanya, ternyata selama ini Rando memperhatikan kebiasaannya dan berniat menghiburnya. Dan ajaibnya ia berhasil, Velice bisa merasa ringan tertawa di dekat cowok itu. Padahal biasanya, di kamusnya tertawa adalah dosa, tak pantas rasanya masih bisa tertawa setelah kehilangan orangtuanya secara tragis. “Jadi gimana? Duuh, perut gue udah protes nih!“ Mendadak Rando jadi tidak sabaran. “Eh…Iya deh!“ Velice akhirnya bersedia. Tempat makan yang Rando maksud ternyata warung makan nasi uduk. Velice dipesankan seporsi nasi uduk dan ayam goreng lengkap dengan tahu-tempe goreng dan lalapan, begitupun dengan Rando.Velice menatap makanannya, sudah lama ia tidak makan di luar seperti ini. Rasanya agak tidak biasa, tapi menyenangkan. “Gimana? Maaf ya makanannya cuma ini, tapi enak kok! Gimana?” Rando tidak sabar mendengar komentar Velice. Velice menyuap dengan rapi. “Nggak apa-apa! Enak kok, lagipula gue udah lama nggak makan nasi uduk sama ayam goreng luaran kayak gini! Bagi gue ini special!” Ucap Velice menenangkan kecemasan yang terdengar di suara Rando. “Oh gitu! Syukur deh, kalo gue sih justru sering banget kesini, tapi anehnya nggak bosen-bosen!” Rando memulai pembicaraan. “Kalau lu? Kalau makan diluar seringnya kemana? Ke kafe kali ya? Atau ke tukang nasi goreng? Soto? Sate?” Velice menggeleng, sudah lama ia tidak bersenang-senang seperti itu, ia bahkan sudah lupa rasanya mencicipi itu semua. Semenjak tinggal berdua dengan kakaknya, Velice sibuk dengan rasa tertekannya sendiri dan kakaknya sibuk dengan kesibukan barunya membunuh orang. “Gue udah lama nggak makan di luar! Tapi kalau nasi goreng…kadang-kadang kalau malam gue pesan itu juga sih kalau kebetulan lewat depan rumah!” Cerita Velice, membuatnya terdengar wajar. “Terus, kalau di rumah lu ngapain dong?“ Rando menyelidiki heran. Velice berfikir. Nggak mungkin kan aku ceritain kalau setiap malam aku masak makanan, dengar MP3, dan nunggu kakak pulang setelah membunuh orang! Velice menyaring kata yang akan dia ucapkan. “Yah paling nonton TV, dengerin musik, masak dan nunggu kakak pulang…kerja!” Ucapnya akhirnya. “Orang tualu?” Tanya Rando, membuat jantung Velice berdegup kencang. Velice terpaku, matanya mengalihkan pandangan dari tatapan Rando, tidak ingin memperlihatkan gejolak emosi yang belum bisa ia kendalikan, kegetiran otomatis melumpuhkan seluruh persendiannya. Mendadak Velice terlihat gugup, salah tingkah. “Eh…orang tua gue ya?” Velice pura-pura baru paham. Rando membaca gerak-geriknya yang aneh, agaknya ia mulai menyentuh sisi kelam dari perjalanan hidup gadis ini. Setelah menenangkan diri. Velice memantapkan suaranya, “Sudah lama mati!” “Meninggal!” Ralat Rando. “Iya, itu maksud gue!” Velice salah tingkah, terbawa getir. “Maaf ya!“ Rando bersimpati, walau sebenarnya tidak menyesali memulai topik itu. “Tapi kalau boleh tahu…kenapa?” Pancingnya. Velice menunduk. Nggak, aku nggak boleh bilang! Ini aib keluarga! Batinnya mengingatkan. “Nggak penting lah ya!” Ia mencoba mengusaikan topik dengan ringan.“Nggak, gue pingin tahu aja! Nggak apa-apa kok! Lu bisa cerita ke gue, percaya sama gue!” Rando meyakinkan. “Lagian gue senasib kok sama lu! Apa perlu gue dulu yang mulai cerita?“ Rando berinisiatif, menegaskan bahwa mereka di pihak yang sama. Velice teringat cerita tentang masa lalu Rando yang kelam. “Nggak, nggak usah! Maaf Do, tapi…gue udah dengar itu semua dari Yani! Maaf ya!” “Ya nggak apa-apa! Bagus dong, berarti gue nggak perlu capek cerita lagi! Lu udah tahu kan!”Tanpa dinyana, Rando menjawab dengan ringan. “Sekarang giliran lu! Apa sih yang lu takutin? Gue nggak akan nyebarin kok, kalau itu yang lu mau!” “Kenapa sih lu mau tahu banget?” Velice agak keberatan dan curiga dengan Rando. “Lagipula, lu nggak akan percaya! Cerita masa lalu-lu jauh lebih bagus daripada gue!” “Gue akan mempercayai apapun yang keluar dari mulutlu! Makanya lu cerita!“ Rando makin penasaran. “Gue nggak punya maksud apapun! Gue cuma mau tahu, apa itu yang membuatlu terus tenggelam dalam kekelaman seperti ini?“ Suara Rando terdengar mantap, tegas dan berat. Nadanya memastikan ia sedang serius. Velice heran dengan perhatian Rando yang begitu peka terhadapnya. “Kelam?” Velice heran. Ia bertanya tanya apakah pemuda itu menyadari kejanggalan dari sikapnya ini? Tapi Velice merasa telah berusaha berpura-pura menjadi anak remaja yang wajar, walaupun kehidupan yang dijalaninya amat tidak wajar, tidakkah ia bisa menutupinya? “Percaya gue! Gue pernah seperti lu di masa lalu! Gue cuma mau bantu lu, karena…gue nggak mau lihat lagi ada elu-elu berikutnya yang hidup dengan tatapan tanpa harapan itu! Tatapanlu kosong, tanpa keyakinan dan kebahagiaan, itu yang bikin auralu terlihat kelam! Gue dulu persis seperti lu, tapi lihat…gue bisa kan mengatasinya ? Karena itu, cerita sama gue! Gue nggak akan ikut campur hiduplu atau apa, tapi gue cuma mau ajarin bagaimana kita seharusnya menjalani hidup, memandang hidup!“ Rando membujuk serius. Velice lagi-lagi teringat cerita Clara. Ternyata ceritanya tepat, benar. Perlukah Velice menceritakannya ke pemuda ini? Bisakah ia dipercaya? Tapi…ia memang ingin bertanya satu hal ke pemuda ini sejak awal.“Apa boleh…kita masih bisa tertawa setelah kematian orang yang paling kita sayangi dengan tragis?” Velice memulai. “Hah?” Rando terkejut dengan pertanyaan mendadak itu. “Apa boleh kita berharap, setelah hidup menjatuhkan kita ke neraka yang paling dalam? Apa boleh kita berharap kalau tahu…harapan itu nggak akan terwujud?” Gumam Velice, kali ini ia tidak menyembunyikan kegetiran dalam tatapannya, malah balas menatap mata Rando dalam-dalam. Biarlah ia membongkar agar pemuda di depannya ini puas. Mungkin memang benar pemuda inilah yang bisa membantunya. “Tentu aja! Lu pikir orang yang lu sayangi itu mengharapkan lu terus menderita dan sedih menjalani hidup? Apa lu nggak sadar, mereka melihat dan pasti ikut sedih jika lu terus memendam kesedihan karena mereka. Mereka akan merasa bersalah!” Rando menjawabnya dengan hati, dan tepat merasuk ke dalam sanubari Velice. Velice mendongak seperti disadarkan, baru ingat akan hal itu. Bagaimanapun orangtuanya ada dan masih bisa melihatnya, tugas Velice seharusnya ialah menunjukkan pada mereka bahwa ia masih bisa menjalani hidup dengan baik. Tak perlu merasa berkewajiban terus mengenang mereka dalam kesedihan. Bukan tidak sopan kembali ceria setelah kehilangan mereka. “Terus…memang apa harapanlu itu?” Tanya Rando. “Kebahagiaan!” Ucap Velice datar. “Lu udah tahu jawaban gue dari ucapan gue tadi! Tapi gue rasa lu nggak benar-benar mengharapkan kebahagiaan itu! Kalau lu benar-benar mengharapkannya, matalu pasti memancarkan harapan yang sama! Bagaimana harapanlu bisa terwujud kalau mengharap aja lu nggak berani?” Rando menyindir sadis. Lagi-lagi Velice tertegun dengan ucapan pemuda di depannya, lagi-lagi ia benar. “Dari harapan akan timbul keberanian! Bukankah lu sudah pernah terjatuh dan merasakan sakitnya hidup? Lalu apa lagi yang lu takutkan? Bukankah lu udah kebal dengan itu semua, sudah terbiasa, sekarang apa salahnya menahan kejatuhan beberapa kali lagi demi mendapatkan apa yang diharapkan! Itu toh bukan hal yang mustahil!” Nasihat Rando tak disangka sangat bijak dan mengena. “Apalagi kebahagiaan itu mudah diraih! Hanya dengan berfikir kalau kita ingin bahagia, kita akan langsung bahagia! Ingat Vel, kebahagiaan itu bukan datang dari luar…” Rando mendekatkan wajahnya ke Velice, “Tapi dari dalam diri kita sendiri!” Lanjutnya. Velice mengernyitkan dahi, kurang percaya dengan ucapan terakhir itu. “Masa? Bukannya banyak orang berusaha keras untuk dapat kebahagiaan, sampai harus berjuang keras? Lalu buat apa mereka seperti itu kalau kebahagiaan ada dalam diri mereka?” ”Itu karena standar kebahagiaan setiap orang berbeda! Mereka pikir mereka akan bahagia jika mendapatkan sesuatu, tapi setelah mendapatkannya belum tentu mereka akan bahagia kan?” Rando berusaha menjelaskan. “Contohnya harta, orang-orang banyak berfikir akan bahagia kalau punya banyak harta, tapi lihat! Apakah setiap orang kaya bahagia?” Velice mulai paham. “Jadi…” “Kalau masih nggak percaya coba lu ingat waktu lu tertawa tadi, apa lu merasa sedih?” Tanya Rando. “Nggak, senang malah!” Jawab Velice bingung. “Nah, senang itu sama aja bahagia kan! Coba, kenapa lu bahagia? Apa karena lu mendapatkan apa yang lu inginkan?” Tanya Rando. Velice menggeleng. “Apa lu bahagia karena ketemu orang yang lu idolakan?” Rando bertanya lagi. Lagi-lagi Velice menggeleng. “Tuh itu! Lu bahagia, karena lu lagi mau bahagia!” Rando menjelaskan sok professional. “Sini, biar gue ajarin rumus mencari bahagia yang nggak banyak diketahui orang!” Rando mulai bergaya tengil. “Sok professionall!” Velice kembali tertawa melihat gaya sok cerdas Rando. “Benar nih! Ingat baik-baik, catat kalau perlu!” Rando memperingatkan. “Iya iya, udah nih prof!” Velice berlagak sok mau mencatat di HPnya. “Kita akan bahagia…kalau kita berniat ingin bahagia!” Terang Rando lambat-lambat, sok serius. “Itu doang?” Velice kecewa. “Kalau itu sih tadi juga lu udah diomongin kali!” “Yee, tapi emang itu rumus simpelnya! Cara tergampang untuk bahagia itu tinggal tersenyum atau tertawa!” Info Rando. “Udah tenang? Tuh kan nggak pahit-pahit amat berbagi kesedihan!” Rando kali ini tersenyum ringan. Velice terkesima, sebegitu mudah emosinya dibuat berubah oleh pemuda di depannya. Begitupun emosi Rando yang seringkali berubah dengan cepat, sekarang ia ceria kembali. Mungkin ia memang dapat menceritakan tentang orangtuanya seperti yang diminta Rando. “Oke, sebagai balasan rumus mencari bahagia yang udah dikasih tahu ke gue, boleh deh gue cerita tentang keluarga gue!” Velice akhirnya memutuskan. Ia pun bercerita panjang lebar tentang orang tuanya, tentang kejadian malam itu, tapi tidak tentang kelainan kakaknya. “Lu punya kakak cowok?” Rando baru tahu. “Iya, sekarang gue cuma tinggal sama dia…jadi maklumlah kalau gue nggak bisa senang-senang kayak remaja lain!” Velice menjelaskan. Entah kenapa setelah menceritakan semuanya, reaksi tubuhnya tidak seperti yang ia sangka sebelumnya, malah lebih lega. Sebelumnya ia kira ia tak akan bisa menahan tangisan tersedu-sedu hingga gemetar menahan perih, tapi justru tak setetespun air matanya jatuh. Ia merasa nyaman di dekat Rando, benar-benar pemuda yang baik dan tepat untuknya. “Lu beruntung masih ada kakak cowoklu! Lah gue…adik, kakak dan orangtua gue meninggal semua sekaligus dalam kebakaran!” Rando membandingkan. Velice merenungkan, apa iya ia lebih beruntung dari Rando. Tapi setidaknya Rando tidak harus memendam rasa tertekan sampai sekarang! Aku…sampai sekarang nggak bisa lepas dari kakakku yang bersikap seperti monster sekaligus malaikat pelindungku… Renung Velice. “Lu punya kakak dan adik?” Tanya Velice berbasa basi. “Iya, semua cewek! Makanya gue anak kesayangan ortu!” Rando sudah bisa tersenyum saat menceritakan itu semua. Velice membandingkan dengannya saat bercerita tadi, tetap saja ia tadi tidak dapat menyembunyikan ekspresi sedihnya. Rando jadi terlihat tegar dimatanya, ia jadi malu sendiri. “Lu…Cuma kehilangan dua nyawa orang yang lu sayangi! Gue…“ Rando kali ini menerawang dengan tatapan pedih. “Kalau dihitung sama pacar gue…udah lima nyawa orang yang gue sayang ninggalin gue!” Velice merasa aneh, kenapa tiba-tiba Rando terlihat sedih, padahal tadi saat menceritakan orangtua dan keluarganya ia biasa saja. Velice merenungi dan menyadari sesuatu. Pacarnya, ya…tadi ia baru menceritakan tentang pacarnya…Ternyata…ia masih belum bisa melupakan kesedihan tentang pacarnya walaupun ia sudah bisa mengikhlaskan seluruh keluarganya. Entah kenapa Velice merasa kecewa dengan imej tegar pemuda itu yang hanya bertahan singkat. “Pacarlu…meninggal kenapa?” Tanya Velice ingin tahu. Ia penasaran bagaimana sosok gadis yang digilai oleh pemuda ini. Yang bisa membuat pemuda selemah ini menjadi tegar. “Kanker…kanker hati!” Rando kentara sekali menahan sedihnya. “Selagi dia menyadarkan gue tentang hidup, ternyata dia pun lagi berjuang dengan hidupnya dan…gue nggak pernah dikasih tahu!” Venice terbelalak, melihat pemuda yang tadi berusaha menghibur dan membuatnya tegar sekejap jadi terlihat rapuh. “Tapi dia masih ada kan? Dia kan lagi lihat lu, Cuma beda alam aja!” Velice bingung, mencoba menghibur. Kok jadi terbalik gini sih? Ia garuk-garuk kepala, bingung. Ia tidak tahu cara menghibur orang. Rando kini tersenyum lagi, “Kok malah gue yang jadi mellow ya?!?” Velice teringat tugas pentingnya, mengumpulkan facebook para sahabatnya. “Kata Clara, lu nggak punya facebook? Bikin dong!” Tuntutnya. “Bukannya nggak punya sih! Pas gue lagi bikin malah error! Tau nih, gue udah lama nggak ngenet! Nanti deh gue bikin!“ Janji Rando. “Secepatnya! Penting nih!” Velice memaksa. “Kenapa sih? Komputer gue lagi nggak ada internetnya nih! Modemnya lagi dibawa sepupu gue !“Rando heran, tidak bisa menjanjikan. “Usahain ya! Penting banget nih!” Velice khawatir, kesantaian Rando semakin mencemaskannya. “Deuilah segitunya! Iya, nanti gue bikin lagi!” Janji Rando. Setelah mereka selesai makan, mereka membayar tagihan mereka. “Sorry nih ya, gue nggak bisa nganter pulang! Gue pulang naik angkot, lu pulang naik apa?“ Rando merasa bersalah, kesannya ia tidak gentle. “Nggak apa-apa! Gue juga naik angkot!” Velice sebetulnya bersyukur. Ia belum siap memperkenalkan kakaknya ke cowok itu. “Angkot apa?” Rando berharap mereka satu jurusan. “26!” Velice menjawab cuek. “Sama dong! Bareng aja yuk!” Ajak Rando.
Velice mengusap dada lega, untung saja Rando tidak memutuskan untuk mampir ke rumahnya. Ia takut di rumahnya tertinggal benda yang mencurigakan, barang-barang korban yang terbunuh misalnya. Ia juga takut jika Rando menemui kakaknya, salah bicara bisa gawat. “Udah pulang Velice?” Sapa Virion. “Udah kak!” Velice agak terkejut. “Makanan udah siap tuh!” Virion menginformasikan. “Kakak masak sup telur puyuh! Kamu suka kan!” Pemuda itu tersenyum lembut. “Maaf kak, aku udah makan barusan.” Velice mengatupkan tangannya di depan bibirnya. “Tapi kayaknya kakak bakal jadi suami yang bisa memanjakan istri nih!” Goda Velice, tiba-tiba ia tertegun mendengar ucapannya. “Kakak pernah punya niat buat nikah? Buat cari pendamping gitu?” Tanyanya.Velice mendapati kakaknya menunduk sendu. “Kamu tenang aja Velice, biar begini…aku punya rasa suka sama cewek!” Jawab Virion, melegakan Velice. Velice senang mendapati sisi normal kakaknya yang belum hilang, ia masih punya rasa cinta. “Bagus deh! Siapa ya yang bakal jadi kakak ipar aku? Jadi penasaran!” Goda Velice lagi. “Kamu…hari ini kedengarannya senang banget? Nggak pernah kakak lihat kamu seriang ini sejak…malam itu!” Velice tertegun mendengar pengakuan kakaknya itu. Apa iya Velice tidak pernah seriang ini setelah kehilangan orang tuanya? Kalau begitu, Rando telah mampu membawa perubahan yang hebat dalam hidupnya. Ia tidak menyangka baru mengenal Rando sebentar, cowok itu sudah bisa membawa perubahan yang baik dalam hidupnya. “Tapi bagus deh kalau sekolah kamu yang sekarang bisa membuat kamu lebih ceria!” Tebak kakaknya sok tahu. Velice menemukan sebuah buku di kolong lemarinya. Diraihnya buku berdebu itu, bentuknya seperti buku diary kuno. Ditemukannya nama ibunya di halaman pertama buku itu. Oh, ini diary ibu?! Ia jadi penasaran. Kehidupan seperti apa yang dulu dilalui ibu? Dibaliknya halaman buku itu dengan asal, ada paragraf yang menarik matanya. “Aku beruntung sekali! Setelah dua tahun aku mengharap kedatangan anak, seorang temanku memintaku mengadopsi anak bayinya. Bayi laki-laki yang lucu. Tentu kuterima tawaran itu dengan senang hati. Riana, ibu bayi itu akan bekerja di luar negeri dan tidak bisa membawa bayinya serta. Kuberi nama bayi itu Virion…” Velice syok. Apa?!? Kak Virion di adopsi? Lalu aku? Ia langsung membolak-balik kertas itu, mencari tahu jati-dirinya. “Terima kasih Tuhan, kau berikan juga bayi yang kurindukan! Akhirnya aku melahirkan anak dari kandunganku sendiri, rasanya luar biasa. Bayi mungil itu sangat manis, penghibur jiwaku, kuberi nama Velice. Ia selalu menggodaku dengan mata bulatnya…“ Velice bersyukur ia ternyata anak kandung orangtuanya. Tapi satu yang mengejutkannya, Virion bukanlah kakak kandungnya. Ia bertanya-tanya apakah kakaknya tahu tentang hal itu. Ia berharap selamanya Virion tidak mengetahuinya, agar ia dan Virion bisa tetap menjadi adik-kakak seperti biasa. Ia takut…jika kakaknya tahu posisinya sebagai adik bisa terancam…mungkin Virion tidak sesayang dulu lagi padanya. Biarlah Venice terus menjelma menjadi adik yang manis, agar aman tinggal bersama pembunuh itu. Tapi sebenarnya Velice yakin ada atau tidak hubungan darah itu, kakaknya tetap sayang padanya. Selama ini kakaknya selalu melindunginya, hati kecil tidak percaya kakaknya akan berubah setelah mengetahui kebenaran itu. Velice pun…walau telah membaca diary ini…rasa sayangnya kepada kakaknya tetap tak berubah. Kakak tetap orang yang paling aku sayangi di dunia ini! Ujar hatinya mantap. Seorang wanita berbusana eksekutif sibuk menangani berkas-berkas di meja kerjanya. “Maaf, mbak Nina memanggil saya?“ Virion muncul dari balik pintu kaca ruangan eksklusif itu. “Kamu sudah tulis berita tentang pembunuhan berantai yang aku tugasi itu?” Tanya wanita sebaya Virion tegas. “Oh, sudah mbak! Tapi maaf mbak, belum di print! Ini!” Virion memberikan flashdisk mungil ke tangan halus wanita itu. Wanita itu menerima dan langsung membukanya di laptop.“Wow, terperinci sekali! Kamu benar dapatkan keterangan sebanyak ini dari narasumber? Yakin kevalidannya?” Tanya wanita itu. “Iya mbak! Aku tanya orang-orang sekitar TKP! Bahkan disana ada folder yang berisi foto-foto mereka dan foto TKP mbak!” Virion meyakinkan atasannya. “Bagus! Kamu memang jurnalis yang handal!” Wanita bernama Nina itu memang telah lama kagum pada bawahan yang sebayanya itu. “Makasih mbak! Ini juga berkat didikan kepala redaksi yang kompeten seperti mbak!” Virion tersenyum manis. “Kalau begitu kamu boleh keluar! Lanjutkan lagi tugas kamu! Data kamu biar langsung aku tuliskan di koran sore hari ini!” Nina mempersilahkan. “Terima kasih mbak!“ Virion tersenyum lembut dan berbalik, saat membelakangi wanita itu senyumnya berubah menjadi seringaian penuh makna. “Oh iya Virion, siang ini bisa makan siang bareng?” Tawar Nina berharap. “Ada yang ingin aku bicarakan!” “Oh, baik mbak!” Virion menerima dengan tangan terbuka. Virion dan Nina kini berhadapan di meja kafe bagian outdoor. Pemandangan taman menghijau menghiasi area kafe itu, menyejukkan mata. “Aku sudak pesanin sirloin steak kesukaan kamu! Kamu suka kan! Minumnya tadi sih aku pesanin Ice Lemon Tea, nggak apa-apa ya!” Nina memperlihatkan senyum lesung pipitnya. “Kamu sih datangnya telat!” “Nggak apa-apa mbak! Maaf ya mbak, tadi mas Retno minta buatin artikel tambahan! Oh iya, tadi mbak mau ngomong apa?” Virion langsung ke pokok bahasan. “Oh itu…” Nina tertunduk ragu. “Aku sudah lama loh salut sama kamu Virion! Kamu selain jurnalis handal, ulet, sopan lagi! Saya suka dengan gaya kamu yang pendiam tapi menghanyutkan itu! Talk less do more, gitu!” Ungkapnya jujur. “Waduh! Jadi tersanjung nih mbak! Mbak Nina juga kepala redaksi yang baik!” Virion balas memuji. “Nggak! Serius! Maksudku tadi…aku sudah lama suka sama kamu! Mungkin awalnya kagum, tapi lama-lama, aku merasa beruntung banget bisa kenal pemuda seperti kamu Vir! Aku benar-benar jatuh cinta sama kamu!” Nina menjelaskan maksud terpendamnya. “Wah, aku nggak nyangka banget nih mbak!” Virion bingung. “Mbak wanita yang baik dan pekerja yang tangguh, aku merasa nggak sederajat sama mbak yang begitu hebat! Aku merasa nggak pantes, maaf mbak! Lagipula…aku sudah suka sama gadis lain!“ Ungkap Virion jujur, berusaha memilih kata agar tidak menyinggung. “Oh gitu!” Nina mengangguk paham, wajahnya mendatar. “Oh ya nggak apa-apa! Aku cuma mau ngungkapin hal yang sebenarnya! Tapi…kalau aku boleh tahu siapa gadis yang beruntung itu? Kamu kenal dia dimana?” Nina bermaksud membandingkan posisi gadis itu dengannya, masih ada sedikit rasa tidak rela di hatinya. “Wah…aku sih kenal dia sejak kecil mbak!” Virion tersipu, teringat gadis itu. “Apa dia juga suka kamu?” Tanya Nina, meneliti peluangnya. Wanita eksekutif seperti dia selalu menghitung peluang-peluang yang dimiliki untuk memanfaatkannya menjadi keuntungan. Virion menunduk, kali ini ia merasa lelaki paling lemah di jagad raya ini. “Wah, kalau itu sih aku nggak tahu mbak! Tapi…yang pasti…posisi dia di hati aku nggak tergantikan mbak! Maaf!“ Mata indah Virion menerawang. “Dia gadis paling berharga dan paling aku cintai di dunia!” “Aku kalah telak!” Nina menyerah, tak tersisa peluang untuknya. Ucapan mantap Virion menciutkan hatinya. “Ya sudah, kamu nggak usah nggak enak hati gitu sama aku! Aku mundur! Terima kasih ya sudah mau dengarin curahan hati aku!” “Iya mbak! Terima kasih juga sudah menyukai aku!” Virion menjawab sopan.
Virion melaju pulang membawa motor bebeknya. Di perjalanan terngiang-ngiang ucapan Nina yang mengganjal hati Virion. “Apa dia juga suka kamu?” Virion hanya bisa tersenyum perih. Pikirnya tak mungkin rasanya itu terbalas, gadis itu saja tidak tahu kalau ia mungkin untuk dicintai. “BRAAAK!” Benturan antar motor tak terelakkan. Motor Virion sempat terguncang, tapi untunglah tabrakan itu tidak parah. Ia emosi, menengok yang tadi menabrak belakang motornya. Ia melihat seorang pemuda berjaket sporty ikut memberhentikan motornya, Virion turun mendekatinya. “Dasar anak ingusan! Main tabrak motor orang! Perbaiki motor saya! Ini rusak!” Omel Verion, melihat nomor polisinya yang copot. “Loh, si mas yang tiba-tiba jalan pelan! Makanya jangan bengong! Nyetir kok bengong! Yang salah siapa!” Pemuda itu tidak terima. “Kamu berani membantah ya! Yang rugi itu saya, kamu masih saja banyak bacot!” Virion meremas kerah kemeja remaja itu. Pemuda SMU itu mulai sadar posisinya terdesak. Orang-orang mulai memperhatikan, bahaya jika polisi sudah mencampuri urusan. “Oh jadi mas mau ganti rugi? Bilang aja mau duit! Mau berapa sih?“ Ucapnya pongah, mengeluarkan dompetnya. ”Niiih!“ Ia melemparkan kasar empat lembar seratus ribuan ke tangan Virion, lalu melaju dengan motornya. Virion emosi, merasa dilecehkan. “Kubunuh kamu!” Gumamnya dendam sambil menaiki motornya lagi. Ia pun melaju pulang dengan kesal yang mengerak di hati. Velice mengotak-atik laptopnya. Ia sedang membuka facebook, ia sangat bersyukur Clara sudah meng-add-nya. Sekarang ia memiliki koneksi untuk melihat-lihat foto teman-teman sekelasnya. Terdengar dari suara dari pagar, kakaknya sudah pulang. “Agak telat kak?” Tanya Velice menghadap kakaknya. “Kok kelihatannya kesal ?” Herannya. “Iya, tadi ada yang cari gara-gara!” Virion menjawab jutek. “Tapi kakak nggak membunuh di siang hari begini kan kak?” Velice khawatir. “Tentu saja nggak! Memang aku sebodoh itu?” Virion meyakinkan. Velice menghirup nafas lega. “Oh iya kak, sini sebentar!” Velice menepuk bangku di sebelahnya, mengajaknya menatap monitor laptop bersama. Virion menurut, ia memperhatikan laptop sesuai isyarat Velice. “Ini kak foto teman-temanku! Semua foto yang ada disini, tidak boleh kakak sakiti sedikitpun! Ingat baik-baik!” Peringat Velice, menunjukkan satu per satu foto-foto di facebooknya.Virion mengangguk-angguk. Ia menengok ke adiknya, tepat saat kepala adiknya menoleh pula padanya. Lagi-lagi Virion teringat omongan Nina, membuat tatapannya berubah melembut.Velice menatapi wajah tampan di depannya, teringat bahwa cowok itu bukan siapa-siapanya. Bukan kakak kandungnya. Dadanya terbawa berdebar tidak biasa, mungkin efek pikirannya yang dihantui tulisan di diary ibunya. Apakah aman…tinggal bersama pemuda yang bukan saudara kandungku?!? Hatinya bertanya-tanya liar, takut terhanyut pandangan itu. Tapi Velice menjernihkan lagi pikirannya. Nggak, yang penting aku sayang dia selayaknya kakak, diapun sayang aku selayaknya adik! Kakak Virion masih yang dulu, yang selalu mati-matian melindungiku. Kakak tidak mungkin menyakitiku! Benaknya meyakinkan. “Velice, kalau boleh tanya…kenapa sih akhir-akhir ini kamu berubah ceria?” Virion menetralkan suasana. “Bagus sih, tapi kakak pingin tahu aja!” Velice garuk-garuk kepala, mendadak salah tingkah. “Jujur ya kak! Ini karena teman pertama aku dan teman terhebat aku di sekolah!” Ungkapnya. “Siapa?” Virion penasaran, iri ia pada orang itu. Seumur hidupnya, ia tidak pernah melihat Velice seceria ini. Ia jadi menyesal terlalu sibuk dengan pekerjaannya. “Namanya Rando kak! Sayang, aku belum punya fotonya di facebook! Nanti menyusul deh!” Velice kembali cemas akan nasib Rando. “Dia baik kok kak! Anaknya ceria, makanya mungkin aku terbawa ceria! Kemarin aku diajak makan bareng dia, di warung tenda sih kak, tapi buatku itu menyenangkan!” Ekspresi Virion berubah dingin, terlihat kesal. “Kamu suka dia?” Virion bertanya datar. “Hah, suka?” Velice makin bingung, ia tidak mengerti perasaannya, apalagi perasaan cinta. Bagaimana rasanya saja ia tidak tahu. Ia terbiasa merasakan sedih dan tertekan, tanpa mengerti rasa mencintai lawan jenis, kecuali menyayangi kakaknya itu. “Aku belum kepikiran kak! Tapi…dia spesial sih buatku! Dia…yang mengajariku cara hidup yang sebenarnya dan arti kebahagiaan!” Tertangkap kekaguman dari tatapan Velice. “Aku salut kak sama dia! Dia orangnya tegar!” Mendadak Virion memeluk Velice erat, sontak Velice terkejut, teringat lagi statusnya yang bukan lagi sebagai adik. Ia mulai merasa cemas, takut keakrabannya selama ini disalah artikan atau berbelok ke jalur yang salah. “Kakak suka sama kamu Vel!” Ucap pemuda tampan itu. Ia melepas pelukannya, menggenggam bahu Velice dan menatap matanya dalam. “Mungkin selama ini kamu nggak tahu tapi…aku bukan kakak kandung kamu Vel! Aku nggak bisa lagi menyembunyikan lagi rasa yang kedengarannya konyol ini!”Mata Velice menatap panik, ia kaget dengan kenyataan ini. Terlalu aneh baginya. Baru saja ia takutkan ke’salah-arah’an ini, dan sekarang terjadi, saat ia belum bisa beradaptasi dengan status aslinya ini. “Tapi apapun perasaan kamu sama kakak, kakak berjanji semua status dan perasaan kakak ini tidak akan mengubah perlakuan kakak ke kamu! Kamu membalas atau nggak perasaan kakak, kakak akan tetap melindungi kamu, dan kamu tetap akan jadi orang yang paling aku cintai dan sayangi di dunia ini!” Virion melepas genggamannya, menenangkan diri. “Makanan udah siap?” Tanyanya kembali datar, seolah tak terjadi apa-apa. “Udah kak, di dapur.” Velice menjawab kaku, masih shock. Jantungnya berdebar kencang, dan seolah rumah ini bukan rumah yang dulu lagi, kakaknya bukan kakak yang dulu lagi, dan ia tidak bisa melihat kakaknya dengan pandangan seperti dulu lagi. Walaupun kakaknya berjanji sikapnya tidak akan berubah ke Velice, tetap saja perlahan kakaknya menjelma menjadi sosok yang asing, pemuda yang berbeda di matanya. Virion telah beranjak ke dapur, sedangkan Venice masih terpaku dalam posisinya. Matahari kembali tenggelam dalam kegelapan. Malam melarut, menina bobokan makhluk yang lelah menjalani hari. Namun di atas ranjangnya, Velice masih terjaga. Teringat kejadian tadi sore, dadanya berdegup kencang kembali. Ia tidak tahu harus bersikap bagaimana jika bertemu kakaknya nanti. Rasanya tidak enak, salah tingkah terhadap kakaknya sendiri, satu-satunya kerabat yang justru paling dekat dengannya selama ini. Daripada ditembak kakaknya sendiri, ia rasa lebih baik ditembak Rando, setidaknya ia tidak merasa salah tingkah di rumahnya sendiri sepanjang hari. Rando, ia semakin bingung perasaannya kepada pemuda itu. Jujur, ia mengakui beruntung sekali setiap gadis yang dicintai Rando. Ia sendiri merasa nyaman dan aman berada di sebelahnya. Selama bersama Rando ia merasa kembali ke dunia normal yang seharusnya, bukan dunia jungkir-balik yang selama ini dijalaninya, dimana kakaknya yang merupakan malaikat pelindungnya bisa menjelma menjadi monster berdarah dingin setiap malam. Rasanya ia ingin kembali ke kehidupan normal dan jalan satu-satunya ialah terus bersama Rando, pemuda itu rasanya yang paling mungkin menuntunnya menikmati hidup normal kembali. Rando terus memperhatikan tempat duduk Velice selama pelajaran berlangsung. Ia merasa hawa keceriaan menurun kembali di sosok gadis itu. Sosok gadis itu kembali diliputi kegelapan dan kekelaman. Rando khawatir, sepertinya Velice kembali dalam keadaan tertekan. Saat bel istirahat berbunyi, Rando segera menghampiri gadis itu. “Ke kantin yuk!” Ajak Rando berbasa basi. Tanpa berucap sepatah katapun Velice menurut, ekspresinya seperti robot, kaku.Rando mengajak Velice duduk, kali ini menyepi dari teman-teman mereka yang lain. Rando menatap wajah Velice dengan sikap menyelidiki, ”Lu kenapa lagi?” Tanyanya. ”Eh? Kenapa apanya?” Velice tidak paham. ”Instuisi gue itu peka Velice, jadi nggak bisa ditipu!” Jelas Rando. ”Lu ada masalah kan? Cerita aja ke gue, nggak apa-apa! Trust me!” Velice menatap mata Rando dengan belitan pikiran terbayang di matanya. ”Kayaknya gue nggak bisa cerita ke lu Do!” Suara Velice terdengar rapuh. ”Selama ini udah gue buktiin kan cuma gue yang bisa lu bagi cerita kelamlu, apalagi yang lu raguin Vel? Ini gunanya teman! Gimana gue bisa bantulu kalau gue nggak tahu masalahlu!” Rando membujuk gadis yang tertutup itu. Velice mengambil nafas. ”Lu ingat cerita tentang kakak cowok gue yang gue ceritain?” Rando mengangguk. ”Kenapa kakaklu?” ”Dia bukan kakak kandung gue!” Ungkap Velice. Rando membulatkan mulut, “Well, setidaknya selama ini dia berusaha menjadi kakak yang baik kan buatlu!” “Ada lagi!” Tambah Velice. ”Sekarang statusnya nggak bisa gue anggap kakak lagi! Kemarin dia nembak gue! Dia suka sama gue Do!” Curhatnya. Rando ikut bingung. “Lu sendiri gimana?” Tanyanya. “Gue?” Velice bingung. “Gue aja waktu itu belum bisa nerima status asli kami yang bukan saudara kandung, tiba-tiba gue harus anggap dia orang asing yang nembak gue! Nggak pernah kebayang di otak gue Do! Justru rasanya aneh ngebayanginnya!” Rando menatap mata Velice dalam. Tatapannya yang bening, sejuk menghanyutkan. “Gue suka lu Ven!” Ucapnya mendadak. Velice tersentak, terdiam. Ia ingat pikirannya semalam, akan sangat menyenangkan jika dapat terus bersama Rando, ia bisa dituntun untuk hidup normal kembali. Jika bersama Rando, ia akan mengecap kebahagiaan yang selama ini Rando ajarkan dan torehkan di hari-harinya. Tapi kenapa rasanya mulut Velice ragu untuk menjawab iya, padahal jalan itu telah terbentang di hadapannya. “Maaf gue nambahin beban pikiranlu lagi! Bukannya gue ikut-ikutan, mungkin juga gue terlecut untuk menembaklu juga dari ceritalu tadi. Tapi gue serius Vel, sudah lama gue pendam rasa ini!” Rando menjelaskan. ”Tapi gue paham kekalutanlu! Maaf gue nggak bisa kasih solusi apa-apa! Soal pernyataan gue tadi bisa lu pikirkan belakangan, gue kasih kebebasan waktu sama lu! Kapanpun lu mau jawab silakan! Gue akan tunggu!”
Bel pulang sekolah tiba. Rando masih mencemaskan Velice yang terlihat banyak termenung. Didekatinya gadis berambut panjang indah itu. “Velice, gue anter pulang aja yuk! Gue bawa motor!” Tawar Rando khawatir. “Nggak usah! Makasih!” Tolak Velice. “Tapi mukalu pucet banget Vel! Gue khawatir !” Rando membujuk. ”Ayolah, kita kan sejurusan!” Velice melirik pemuda di sebelahnya. “Oke! Tapi maaf ya, lu nggak bisa mampir!” Peringat Velice. ”Iya, nggak apa-apa!” Rando mengajak Velice ke motornya. Mereka sampai ke depan pagar sebuah rumah. ”Oh ini toh rumahlu?” Gumam Rando mengamati. Ia menangkap bayangan sesosok pemuda dibalik gorden jendela sedang mengamatinya. ”Makasih ya Do!” Ucap Velice tulus. “Sama-sama!” Jawab pemuda itu ringan. “Gue langsung jalan ya! Ada urusan nih!” “Hati-hati di jalan!” Pesan Velice sebelum motor itu melesat pergi. Velice memasuki rumahnya, segera kakaknya menyambutnya. “Kakak!” Sapanya kikuk. “Pulang sama siapa kamu?” Tanya Virion dingin. “Sama Rando kak. Tadi dia khawatir, katanya mukaku pucat, jadi…” Velice berusaha menjelaskan, takut kakaknya salah paham. Ia sendiri bingung, ‘kesalah-pahaman’ macam apa yang ia khawatirkan. “Makanan sudah siap di dapur!” Info Verion cuek sambil lalu, ia meninggalkan Velice. Velice tak ingin lagi ambil pusing dengan sikap kakaknya itu. Ia memutuskan untuk menuju kamar mandi dahulu. Belum sempat ia mengunci kamar mandi, ia melihat sesosok yang sangat ditakutinya. “KYAAAAAA!” Mendengar teriakan Velice, segera Virion menuju kamar mandi. Ia merangkul adiknya dengan sikap melindungi. Akhirnya ia sadar penyebab ketakutan Velice. Virion mengusir binatang itu sambil merangkul Velice yang masih ketakutan.Tiba-tiba Velice tersipu, ia teringat ini tidak seharusnya ia lakukan. Pemuda di depannya bukan kakaknya lagi. Tapi Velice terharu, rangkulan itu tetap sehangat biasa, ia selalu merasa terlindungi dibalik rangkulan orang ini walaupun ia yang membawa Velice ke dunia kelam kehidupan. Ia merasa aman, merasa itulah tempat berlindungnya, seperti juga sebelum-sebelumnya. Apakah dalam rangkulan itu ia seharusnya berada? Tapi sebagai apa? Velice semakin cemas. Sudah tiga hari Rando belum membuat facebook, ia khawatir Rando akan jadi incaran kakaknya saat kebiasaan sadisnya kambuh nanti. Sudah tiga hari juga ia belum memberi jawaban ke Rando. Sampai hari Sabtu ini, hari libur sekolahnya. Merasa bosan dan perlu hiburan, ia pun memutuskan untuk keluar rumah. Ada satu tempat yang terfikir di kepalanya, toko buku bekas langganannya. Ia pun berganti baju dan bersiap ke luar rumah. Ia perlu sedikit merasa normal, diluar masalah peliknya yang mengabnormalkan hidupnya. “Mau kemana kamu?” Tanya Virion dingin. “Mau keluar sebentar, cari hiburan.” Pamitnya. Velice pun keluar dari pintu rumahnya. Toko buku bekas itu menempati kavling kecil di sebuah ruko. Ketika asyik melihat-lihat buku, Velice menengok ke seberang jalan raya. Di seberangnya berdiri sebuah bar besar, mobil-mobil mewah beruntutan parkir di lapangan depannya. Bar, kesal ia pada tempat itu. Ia benci pada bar, musik berdentum-dentum, bir dan segala sesuatu yang bisa membius manusia melupakan kepribadian aslinya. Seperti juga ayahnya yang dengan sekejap menjadi orang lain karena aspek itu. Dulu ayahnya tidak jahat seperti itu, ini semua karena minuman keras dan dunia gemerlap yang membutakan mata ayahnya. Ia benci sekali pada orang-orang seperti ayahnya, yang suka dunia gemerlap dan segala candunya yang memabukkan. Mata Velice menangkap satu sosok yang dikenalinya turun dari taksi di seberang jalan. ”Rando? Ngapain dia ke bar?” Velice heran. Jangan-jangan ia salah mengenal Rando. Ia paling tidak suka orang-orang yang suka ke bar semacam itu. Tapi Rando…orang macam apa dia? Apakah Rando tidak sebaik yang ia bayangkan?!? Velice yang penasaran nekat mengikuti sosok Rando. Ia menguntitnya sambil sesekali bersembunyi, mencurigakan mirip penguntit. Rando benar-benar memasuki bar itu, sebelumnya ia dengan akrab menyapa penjaga di depan pintu bar tersebut. Velice semakin heran, sebegitu seringkah Rando ke bar ini?!? Untung saat itu pakaian Velice terlihat sesuai dengan tipikal dresscode bar. Hotpants denim, tank top hitam, rambut panjang tergerai indah. Syukurlah ia lolos penjagaan, Velice masuk dengan ekspresi tenang, meyakinkan agar tak mencurigakan. Di seberang jalan, seorang pemuda memperhatikan Velice dengan kesal. Ia tak habis pikir, untuk apa Velice menguntit pemuda itu hingga rela masuk ke bar, tempat yang paling dibencinya, atau tepatnya tempat yang mereka benci. Sekarang Velice berubah, Virion merasakan benar perubahannya, dan jika ada yang harus disalahkan pastilah itu pemuda yang diikuti Velice. Pemuda itu membuat adiknya berani ke bar, tempat yang Velice dan Virion benci mati-matian. Virion benci pemuda itu, ia mencengkram erat ingatan wajahnya sebagai target di kepalanya. Sampai di keramaian Velice sibuk melirik-lirik, mencari sosok yang dikenalnya. Sekuat tenaga ia membiasakan diri dengan tempat yang tidak ia sukai itu. Godaan banyak lelaki dan senggolan-senggolan mencurigakan yang membuatnya risih ia tahan hingga lima menit berselang. Saat Velice menatap meja bar, tampaklah Rando dengan kostum bartender sedang beraksi meracik minuman. “Rando? Ngapain lu disini?” Velice kontan menyapanya terkejut. “Gue…kerja di sini! Lu sendiri ke sini ngapain?“ Heran Rando. Setahunya Velice gadis yang baik, bukan tipe gadis yang suka clubbing. “Gue sebenarnya ngikutinlu, gue penasaran kenapa lu ke tempat kayak gini!” Ungkap Velice jujur. “Mau keluar dari sini dulu nggak? Berisik nih!” Pinta Velice tidak betah. “Oke-oke!“ Rando merasa bersalah karena ekspresi tidak nyaman Velice. Ia minta izin sebentar, lalu mengajak Velice ke tempat pegawai. Rando mendudukkan Velice di bangku panjang tempat istirahat. “Lu pasti nggak suka tempat kayak gini!” Tebak Rando. “Benci!” Ralat Velice. “Gue heran kenapa lu suka sama tempat kayak gini! Gue nggak suka semua yang berbau mabuk!” “Gue juga sebenarnya nggak suka! Gue nggak pernah mabuk, walaupun gue peracik minumannya ya! Gue nggak suka pemabuk, pengecut, beraninya lari dari kenyataan!” Rando menjelaskan. “Terus kenapa lu betah kerja di sini?” Tanya Velice sinis. “Betah…sebenarnya dipaksa-paksain! Gue bukannya ngeles ya!“ Jelas Rando. “Lu tahu kan keluarga gue udah meninggal?“ Velice mengangguk. “So…” “Sehabis itu gue diasuh sama om gue, dia yang punya bar ini! Bar lagi sibuk, dia perlu pekerja tambahan dan minta tolong gue! Sebagai keponakan yang numpang tinggal, gue nggak mau dibilang nggak tahu diri lah! Tapi gue nggak punya pilihan, udah bagus ada yang mau ngerawat gue, walaupun hasil pemasukannya dari tempat kayak gini!” Rando terlihat meyakinkan saat menjelaskan. “Gue juga nggak tahu ya gue salah apa benar! Gue sendiri merasa nggak pantes ngebela diri, biar orang aja deh nilai gue!” Velice mempertimbangkan. Jika yang diucapkan Rando benar, ia sendiri juga tidak bisa menyalahkan Rando. Memang seseorang tidak patut dinilai dengan penampakannya sekilas. Velice bersyukur dalam hati, prasangkanya salah. “Kalo bisa…lu jangan kerja di tempat gini terus ya! Gue benci banget sama tempat kayak gini! Bokap gue dulu berubah karena tempat kayak gini!“ Pintanya. “Gue juga malas lama-lama di tempat beginian! Nanti deh gue cari kerjaan baru!“ Rando sehati. “Rencananya sih kalau gue udah mampu gue mau tinggal dan cari uang sendiri! Sekarang gue lagi tahap ngumpulin uangnya!“ Ceritanya. “Tapi gue surprised juga loh, lu bela-belain ke tempat yang lu benci ini cuma buat ngikutin gue!” Velice salah tingkah, tampaknya pemuda di depannya itu mulai GR. “Gue kan penasaran Do! Gue juga harus pilih-pilih teman! Gue kira lu orang yang kayak gimana! Untung gue selidiki, kalo nggak gue benar-benar kira lu suka tempat beginian!” “Oh gitu!” Dalam hati Rando terharu dengan perhatian dan pengorbanan gadis di depannya, berharap artinya lebih daripada yang diungkap Velice.
Velice sedang asyik menyiram tanaman-tanamannya. Dari belakang kakaknya muncul dan memegang selangnya, membuat Velice terkejut karena tangannya ikut tergenggam. “Kamu kan baru pulang sekolah, istirahat aja dulu! Biar kakak yang siramin!” Kak Virion tersenyum tenang. Akhir-akhir ini entah kenapa setiap melihat wajah kakaknya Velice selalu merasa berdebar, seperti mendapat kejutan. Mungkin ia takut atau gelisah karena terbayang status baru mereka yang membuat Velice canggung begini. “Nggak apa-apa kak! Aku aja!” Tolaknya halus. Sekarang ia jadi begitu kaku, terbawa hatinya yang berdebar salah tingkah. “Udah nggak apa-apa! Kakak juga bisa kok! Kamu istirahat gih!” Kakaknya agak memaksa. “Ya udah deh!” Velice mengalah, lalu masuk ke kamarnya. Ia memang merasa butuh waktu untuk sendiri. Ia bingung dengan perasaannya. Tawaran Rando yang mengungkapkan cintanya sebetulnya sangat menggiurkan dan cocok dengan pikirannya sebelumnya. Kalau ia pikir tentang Rando, kurang apa lagi dia? Pemuda itu sangat keren, baik, mengerti dan peduli benar dengannya, apalagi Velice selalu merasa tentram dan nyaman berada di dekatnya. Rando punya daya tarik yang melunakkannya, hingga ia dapat ceria dan tidak ragu lagi untuk tertawa bahagia pun karena pemuda itu. Bahkan Velice hingga rela masuk ke tempat yang paling dibencinya hanya untuk menyelidiki Rando kan? Itu berarti hatinya mengakui ada tempat spesial yang ditujukan untuk pemuda itu. Tapi kenapa Velice tidak dapat langsung menyambut cinta Rando? Ketika itu, separuh hatinya sungkan mengucapkan kata iya pada Rando. Apa yang Velice pertimbangkan? Apakah ucapan kakaknya yang mengungkapkan cintanya? Virion, sekalipun tidak pernah terfikir oleh Velice untuk menjalin cinta dengan kakaknya itu. Atau setidaknya seseorang yang telah lama dianggap kakaknya. Ia sudah terlanjur nyaman dengan status kakak adik mereka. Walau sekarang setelah mengetahui status yang sebenarnya ia selalu berdebar salah tingkah ketika berhadapan dengan kakaknya. Tapi ia pun bingung, kalau ia akhirnya harus mencintai pemuda lain, Rando misalnya, apakah kakaknya akan tinggal diam? Kakak yang dikenalnya suka kalap berlebihan, apa bisa menerima sepenuh hati siapapun yang menjadi pilihan hati Velice? Apakah Rando nantinya tidak akan berada dalam bahaya dendam kakaknya. Dan pelukan hangat kakaknya, egonya sendiri sebenarnya tidak ingin meninggalkan pelukan yang sudah sekian lama melindunginya itu. Saat di kamar mandi itu ia sempat merasa menemukan tempatnya dalam pelukan hangat Virion itu. Ia akui, ia juga tidak yakin rasa sayangnya kepada Rando saat ini melebihi rasa sayangnya ke kakaknya, tapi ini terlalu berbeda. Ia sayang Virion, ia pun sayang Rando…jadi jalan mana yang harus ia pilih dengan resiko sekecil kecilnya. Jalan terbaik yang paling aman… Velice coba mengetes hatinya, langkah pertama ia harus mengerti suara hatinya sendiri. Ia coba memikirkan Rando. Rasanya menyenangkan, selalu membuatnya tersenyum mengingat kebersamaannya dengan Rando. Rando selalu membuatnya bahagia, ia berharga, Velice menyayanginya dalam arti yang spesial. Hangat dan nyaman rasanya jika berada di dekat Rando, ia bisa merasa tenang, bahagia dan merasa menjadi gadis normal yang seharusnya.Berbeda dengan kebersamaannya bersama kakaknya, Virion. Ia selalu dibayangi ketakutan dan kemuraman saat bersama pemuda itu, tapi bukan pula salah pemuda itu. Virion pun tak ingin Velice begitu, makanya ia selalu melindungi Velice sebisanya. Tapi melindungi memang tidak sama artinya dengan menghibur. Virion bukan tipe orang yang bisa menghibur. Walau ia berusaha keras membuat hidup Velice aman dan nyaman, itu tidak berarti selalu membuat Velice merasa bahagia. Hidup dengan kakaknya selalu membuat jantungnya berdegup kencang, entah itu cemas pada perilaku kakaknya yang menyimpang, takut rahasia kakaknya diketahui seseorang, ataupun sekarang setelah ia menerima kejutan bahwa ia bukan adik kandung Virion. Tapi daya tarik Verion begitu kuat menariknya, terlalu kuat hingga rasanya mencemaskan. Velice merasa ia tidak akan bisa hidup tanpa Virion, walau ia tidak mengerti perasaan apa yang mencengkramnya itu. Perasaan ini lebih kasar, selalu membuatnya berdebar jika memikirkan Virion, ternyata debaran ini bukan bentuk dari kecemasan dan kegelisahannya. Ini…semacam alarm yang memperingatkannya bahwa ia butuh kakaknya. Ia butuh kakaknya lebih dari apapun, pantas selama ini ia merasa tidak bisa terpisah dengan kakaknya, walaupun hanya oleh rumah sakit jiwa. Tidak, ternyata rasa kepada Virion…lebih dari sayang. Ini butuh, bahkan candu…Virion tanpa disadari telah menjadi candu dalam hidupnya. Pantas selama ini ia rela mati-matian menahan rasa takutnya untuk tetap bertahan tinggal dengan kakaknya yang hobi membunuh. Ini bukan karena maklum, inilah pengorbanannya karena tidak sedikitpun ia ingin terpisah dari pemuda itu. Jika yang menjadi candu Virion ialah nyawa manusia, yang menjadi candu jiwa Velice ialah Virion itu sendiri. Gawat, Velice baru sadar sekarang, ternyata ia tidak senormal yang ia kira. Bego! Kenapa aku masih berfikiran kalau aku normal, toh selama ini aku bisa bertahan tinggal dengan seorang berjiwa pembunuh. Itu saja sudah membuktikan ketidak normalanku. Bahkan menyerahkannya ke rumah sakit jiwa saja aku nggak rela. Jadi…apa yang harus aku lakukan? Apa sudah tertutup kemungkinanku untuk mengharapkan kebahagiaan dan hidup normal? Apa aku harus terus tenggelam dalam pengorbanan ini untuk ketentraman semua pihak, baik Rando maupun kakak? Apa memang ini jalanku, terus bersama Virion dengan menekan rasa kefrustasianku? Malam ini menyeramkan. Hujan turun lebat disertai angin kencang dan halilintar bersahut-sahutan. Baru pukul tujuh malam, namun suasana sudah terlihat mencekam. Velice dari tadi tidak ingin jauh-jauh dari kakaknya, terus mengekor dan berdekatan karena takut. Cuaca ini mengingatkannya pada kenangan buruk. Tampaknya Virion mengerti, ia tidak sewot mengomentari sikap Velice. HP Velice berdering memanggil. Rando yang meneleponnya. “Halo?” Velice menyapa. “Vel! Gue kemaleman nih pulang kerja! Gimana ya? Cuaca kayak gini, gue pakai motor lagi!” Adu Rando. “Lu lagi di luar Do? Badai kayak gini? Gila lo, terus gimana?” Velice ikutan cemas. Di luar menyeramkan sekali. “Gue berteduh di rumahlu boleh nggak? Dekatan rumahlu sih dari sini!“ Rando meminta izin. “Yah tapi di rumah gue ada kakak gue!” Velice agak keberatan. Ia khawatir dengan respon kakaknya, sepertinya kakaknya tidak suka dengan Rando. Apalagi Virion tipe orang yang tega melakukan apapun. “Ya nggak apa-apa! Bagus dong! Gue juga nggak ngarep kita berduaan aja di rumahlu!“ Rando terkekeh santai. Bukan gitu maksudnya! Aku takut kamu diapa-apain sama kakak Rando! Batin Velice bicara. “Tapi…kamu naik motor? Ya ampun!” Velice dilema, ia juga cemas dengan keselamatan Rando. “Makanya gue nggak berani lama-lama di jalan, jalanan licin, lagian gelap gini! Boleh ya?” Pinta Rando. “I..iya deh!” Velice tidak enak hati. “Ya udah, gue langsung kesana deh!” Lapor cowok itu. “Hati-hati ya di jalan!” Pesan Velice. Segera setelah menerima telepon itu, Velice membereskan setiap sudut ruangan di rumahnya. Memastikan tidak ada benda-benda yang mencurigakan. Tapi ia masih khawatir dengan keselamatan Rando, malam ini otomatis kakaknya tidak keluar mencari mangsa, bagaimana jika kakaknya membuas nanti. “Ada apa?” Tanya Virion heran melihat adiknya mendadak sibuk beres-beres. “Rando mau ke sini! Numpang berteduh, tapi aku khawatir dia melihat sesuatu yang mencurigakan!” Cerita Velice, mendadak ia menghentikan kesibukannya dan menoleh. “Kak!” Ia menatap kakaknya penuh harap. “Nggak apa-apa ya Rando ke sini! Dia juga kepepet, soalnya lagi terjebak badai di dekat sini!” “Hmm!” Jawab Virion acuh sambil berlalu. “Kalau kakak nggak ingin buat aku kesusahan, jangan apa-apain dia ya!” Peringat Velice. “Hmmm!” Kakaknya menjawab lebih malas, tapi ia coba percaya pada kakaknya. Biasanya jika ia minta begitu kakaknya akan selalu menurutinya, selama temannya itu tidak membuat kesal kakaknya. Tak lama berselang, terdengar suara derum motor di depan pagar. Velice segera mengambil payung untuk membukakan pagar. Ia melihat Virion basah kuyup di atas motornya. “Ya ampun lu sampai basah kuyup gini? Udah deh, cepat masuk!” Velice membuka pagarnya dan mempersilakan. Motor telah dimasukkan ke garasi dan Velice mengajak Rando masuk ke rumahnya untuk pertama kali. Kakaknya sedang asyik menonton televisi dengan ekspresi datar. “Loh?!?” Rando terkejut. Ia tidak tahu pemuda itu kakaknya Velice. Ia pernah bertemu pemuda itu sebelumnya, tapi dalam suasana yang tidak mengenakkan. “Kak, ini Rando sudah datang!” Lapor Velice takut-takut. “Maaf ya mas kejadian waktu itu! Saya benar-benar nggak enak hati jadinya!“ Ucap Rando salah tingkah. Ia benar-benar mati kutu jadinya. “Lho, kalian?!?” Velice heran, tampaknya mereka sudah pernah bertemu, tapi ini dalam konteks baik atau buruk?!? “Nggak apa-apa! Motor saya yang ‘kamu tabrak’ sudah diperbaiki! Jadi anggap saja itu sudah berlalu! Lagipula kamu sudah ‘ganti rugi’!“ Walau diucapkan dengan ekspresi ramah, omongan Virion terdengar skeptis. Mengetahui hal itu Velice makin cemas, kakaknya ialah tipe orang yang pendiam namun pendendam, pada klimaksnya bukan tidak mungkin Virion akan membalaskan dendamnya walau di luarnya bermuka manis. “Sekali lagi maaf!” Rando belum puas meminta maaf. “Kasih teman kamu baju ganti! Kasihan dia kebasahan! Pinjam saja baju kakak di lemari!“ Perintah Virion ke Velice, masih dengan ekspresi ‘ramah seolah tidak terjadi apa-apa’. “Sini!” Velice menurut dan mengantar Rando ke kamar mandi. Velice meminjamkan handuk dan satu stel baju kakaknya. Rando sudah rapi dan kering setelah mengganti baju basahnya. Sekarang ia berkumpul bersama Velice dan Virion di ruang menonton. Suasana masih mencekam, hujan dan badai tampaknya belum puas memamerkan keganasannya. “Kelihatannya badai ini akan berlangsung semalaman! Lebih baik kamu menginap saja, biar nanti saya siapkan kasur tambahan di kamar saya!“ Saran Virion berbaik hati. Walau kakaknya terlihat ramah, Velice tetap curiga dan cemas. “Apa boleh mas?” Rando tidak enak hati. “Lalu besok? Saya gimana sekolahnya?” “Toh cuma bolos sehari, itu pun kepepet!” Virion membujuk. “Percuma juga kamu pulang, pasti kebasahan lagi! Jalanan pun berbahaya!” “Iya juga sih!” Pikir Rando tanpa curiga sedikirpun, tidak seperti Velice yang waswas. “Boleh ya Vel?” Rando menatap Velice. Velice tidak tahu harus bicara apa. Selagi wajahnya menampakkan ekspresi cemas, kakaknya menyelak. “Dia biasanya sesuai persetujuan saya saja! Kalau saya sudah mengizinkan nggak mungkin dia melarang!” “Ya oke deh!“ Rando mengangguk lugu
Virion menatap Velice heran, begitupun Rando. Mereka bertiga terus berkumpul di kamar Virion itu selama dua jam. “Vel, kamu itu mau sampai kapan di sini? Sekarang sudah jam sepuluh, waktunya tidur!” Tegur Virion. “Nggak ah! Aku mau begadang aja disini!” Velice masih asyik menggambar di meja belajar kakaknya. Velice tahu, di lacinya kakak selalu menyimpan senjata yang berbahaya. Ia tidak ingin meninggalkan mereka berdua. “Kayaknya Velice ketakutan tidur sendiri tuh!” Rando berkomentar. “Udah Velice, nggak apa-apa! Kami kan di sebelah kamar kamu pas! Tinggal ketuk-ketuk aja nanti kalau ada apa-apa!” Pesan Rando ringan. “Tau nih anak kecil!” Virion menimpali wajar. “Kamu bisik-bisik di kamar sebelah aja kakak bisa dengar! Tenang aja deh, kakak awasin kok!“ Ini bukan cara bicara kakaknya, Velice tahu. Kakaknya sedang membangun imej di depan Rando, tapi ia juga tidak berani terang-terangan melawan kakaknya, takut ia juga kena getahnya. Ia ingin agar tetap terlihat wajar dan seolah tidak menyadari tingkah kakaknya. Ia ingat, toh kamarnya bersebelahan, ia bisa mengawasi lewat suara-suara yang terdengar. “Ya udah deh!” Velice mengalah, menjalankan skenarionya agar kakaknya tertipu. Ia masuk kamarnya dan segera mempertajam telinga. Inisiatif, ia meraih HP dan mengirim SMS untuk memeperingatkan Rando. Kalau lewat SMS, Rando bisa mengantisipasi tanpa ketahuan Virion bahwa targetnya itu sudah ada persiapan, itu akan menjadi serangan kejutan untuk Virion. Rando, hati-hati! Kakak gue psikopat, pembunuh berantai! Gue serius! Lu harus bisa menghindar dengan tenang tanpa dia sadar kalau lu tahu tentang semua ini! Sayang, pesan itu tertunda pengirimannya dan Velice tak menyadarinya. Walau cemas, tubuhnya tetap protes karena kelelahan. Ia terbujuk kasurnya. Awalnya ia hanya duduk bersender di dinding, tapi lama-lama ia lalai, ia tertidur. Rando telah berbaring di ‘extra bed’nya, hampir tertidur, kesadarannya sudah diawang-awang ketika Virion membangunkannya. “Rando, kamu dengar itu?” Tanya Virion, wajahnya terlihat waspada. “Apa?” Rando heran, tapi demi menghargai kakak Velice, ia bangun dan merespons dengan ikut mempertajam telinga. “Tadi saya dengar ada suara berisik! Mungkin maling!” Virion bangkit dari kasur, lalu berjalan keluar kamar dengan tatapan curiga. Walau Rando tidak mendengar apapun, ia tetap menghargai kecemasan Virion. Mungkin benar yang dikatakannya. Rando pun mengikutinya keluar. “Tadi saya dengar suaranya dari atas!” Ungkap Virion. “Atap?“ Tanya Rando. “Ada tangga menuju kesana, bahaya jika ada yang menyusup lewat sana!“ Ucap Virion. Rando mengikuti langkah Verion ke atas atap. Di sana yang ada hanya dataran tanpa atap, dari ketinggian itu mereka bisa melihat jauh ke jalanan di bawahnya. “Gawat, mereka kabur kesana! Cepat kita kejar!” Virion turun tangga dengan terburu buru. Rando yang masih berpikiran positif mengikuti saja tindakan Virion walau tidak melihat maling yang disebut-sebut itu. Ia pikir benar ada maling yang tadi sempat menyelundup ke tempat itu. Rando berlari dibawah derasnya hujan dan kelamnya malam, mengikuti langkah pemuda di depannya yang terburu-buru. Ia melewati jalan perumahan yang lengang, menurut info Virion maling itu mengarah ke sana. Velice bangun lagi, tersadar kalau sepuluh menit yang dilalaikannya itu bisa berarti banyak untuk kakaknya. Di kamar sebelah tidak ada suara apapun, Velice cemas. Ia segera membuka pintu kamar kakaknya, kosong. Gawat…dibawa kemana Rando oleh kakak? Ia panik. Namun kemudian ia sadar, saat seperti ini ia membutuhkan ketenangan diri. Tenang! Aku harus pikir dengan logika, kalau aku jadi kakak, kemana aku akan pergi! Saat memfokuskan konsentrasi, Velice ingat kebiasaan kakaknya. Pertama, kakak nggak suka membunuh di tempat tertutup! Kakak pasti akan mencari tanah lapang terbuka. Ia akan mencari yang pijakannya tanah, lebih mudah menyembunyikan bekas-bekas pembunuhannya jika ada tanah. Kedua, kakak suka membunuh dalam gelap dan tempat yang pasti tidak pernah dilalui orang. Tempat tersembunyi dan tidak bisa dilihat oleh keramaian. Dan ketiga…kakak kan tidak suka membunuh saat hujan begini. Tidak leluasa baginya, bukti-bukti pembunuhan bisa tercecer tanpa terkontrol karena cucuran air hujan, darah misalnya.Berarti… Velice menemukan kejanggalan dengan kesimpulannya. Tempat terbuka yang pijakannya tanah, tapi teduh dari air hujan…gelap dan tidak pernah dilewati…jarang sekali ada tempat seperti itu! Satu-satunya tempat seperti itu di sekitar sini… Velice mengingat-ingat. Seingatnya ada jembatan besar di depan perumahannya sana. Di bawah jembatan itu mengalir sungai yang lebarnya sedang, sungai itu menyisakan tanah yang menjorok ke bawah. Di samping kanan kiri sungai yang menjorok itu terdapat permukaan tanah yang jarang dilewati orang satupun, padahal ada anak tangga kecil dari tanah yang menurun menuju ke sana. Tempat itu memang tidak awam, mungkin juga cuma kakak dan Velice yang mengetahuinya. Tapi dari jembatan, lahan di kanan-kiri sungai dapat terlihat, kakaknya tidak mungkin mau mengambil resiko itu walaupun di cuaca seperti ini. Lagipula kakaknya sangat berhati-hati, dan tempat teduh dan tersembunyi itu… Bagaimana kalau kolong jembatan?!? Jembatan itu besar, menyisakan kolong yang lahan tepi sungainya cukup luas untuk bermain. Velice mengikuti kata hatinya untuk berlari ke tempat itu. Ia membawa salah satu pisau lipat kakaknya sebagai senjata. Halilintar dan derasnya hujan yang selama ini ditakutinya kini tidak diperdulikannya, dilaluinya begitu saja di jalanan yang begitu lengang ini. Rando melihat sekeliling. Ia heran, kenapa ia mengejar sampai ke tempat ini ?!? Di kolong jembatan besar yang teduh namun sangat gelap. “Benar mas, tadi malingnya berlari ke sini?” Ragu Rando. HPnya berdering sejak tadi, sekarang ia ada kesempatan untuk mengeceknya. Ada pesan yang langsung dibacanya. Walau kaget, ia berusaha bersikap wajar. Kenapa baru sekarang sih? Batinnya menyesal. Ia meremas kantung celananya, untung ia sedang membawanya di kantungnya. Virion sekejap berbalik, menatap Rando aneh. “Kenapa mas?” Tanya Rando dengan nada lugu.Verion mendekatinya mencurigakan. Rando menjadi takut, ikutan mundur untuk menjaga jarak. “Stop!“ Rando mengumpulkan keberaniannya. “Kamu pikir saya tidak punya senjata?“ Rando mencoba mengejutkan Virion, setidaknya membuatnya berfikir dua kali untuk mendekatinya. Ia memperlihatkan pisau lipatnya yang kebetulan sedang dibawanya karena tadi rusuh soal maling. “Tapi apa kamu berani menancapkan alat itu ke badan saya?” Tantang Virion, masih mendekat tanpa ragu. “Taruhan, kalaupun kamu bisa melakukannya, kamu tidak lebih terampil dari saya dalam hal itu! Saya telah lama belajar dari pengalaman, sedangkan kamu bisa apa, anak ingusan?” Virion terlihat optimis. “Saya pasti bisa lebih cepat dari kamu!“ Rando sadar kekurangannya itu. Virion makin dekat. “JANGAN KAK!” Teriak suara gadis mengagetkan mereka. Terlihat bayang-bayang hitam itu mendekati mereka. “Kan sudah aku bilang! Jangan sakiti Rando kak! Aku yang akan kesusahan!” Ucap gadis itu, berhati-hati dengan ucapannya. Bagaimanapun baiknya Virion kepadanya, ia harus berhati-hati dengan psikopat, jangan memancing emosinya. Dalam hati sebetulnya ia panik, tapi ekspresinya datar agar tidak menyinggung kakaknya. “Maaf Vel! Kali ini aku nggak bisa menuruti perintahmu! Aku terlanjur kesal dengan pemuda ini!“ Ujar Virion. Velice mengacungkan pisaunya sambil mendekati mereka berdua dengan tenang, takut dengan reaksi kakaknya.“Kak, jangan pikir aku nggak bisa senekat kakak!” Peringat Velice putus asa. “Jangan paksa aku untuk melakukan ini ke kakak! Aku mohon, jauhi Rando!” Sedangkan Rando bergumam tanpa suara, terbaca gerakan mulutnya oleh Velice. “Velice tolong gue!” “Tenang, tapi jangan lu apa-apain kakak gue!” Balas Velice dengan gerakan mulut tanpa suara, untung kakaknya saat itu sedang membelakanginya. “Jatuhkan pisaulu! Cepat!” Suruh Velice, khawatir Rando kalap melukai kakaknya. Ia tidak rela kakaknya terluka oleh Rando sekalipun, walaupun itu hanya upaya menyelamatkan diri. Rando masih bergeming. “Silakan Velice! Kakak nggak keberatan kalau kamu yang melakukannya! Silakan saja, tapi kakak akan tetap membunuh teman kamu ini, kakak masih punya waktu melakukannya walau kamu sudah menusuk kakak!” Sepertinya Virion sudah menebak bahwa Velice tidak akan mampu melakukan itu terhadapnya. Rando bermain mata dengan Velice. Velice memaksa Rando melepaskan pisaunya, walau awalnya tidak mau, akhirnya demi Velice ia membuangnya juga. Velice sangat tidak ingin keduanya terluka, ia serba salah. Ia bisa saja nekat melukai kakaknya tapi benar kata kakaknya, ia pasti masih bisa sekalian membunuh Rando. Ia sangat cinta Virion, kakaknya, ia juga amat sayang ke Rando…seandainya ia bisa menyelamatkan mereka berdua, tanpa kehilangan salah seorang diantaranya. Seandainya pun ada yang harus ia korbankan…Tunggu…Ia masih bisa menyelamatkan keduanya, walau ‘ada’ yang harus dikorbankan. Velice pikir tidak apa, ia sudah lama ingin memberi pelajaran ke kakaknya agar kapok membunuh.Bagaimana jika kakaknya merasakan sakitnya jika yang terbunuh itu seseorang yang paling ia cintai!?!? Akankah ia kapok membunuh? Hmm…Besar kemungkinan. Tuhan, kumohon semoga ini yang terbaik! Selamatkanlah Rando, selamatkan juga Virion! Terimalah pengorbananku ini sebagai kebaikan, demi keselamatan manusia lain yang mungkin kakakku akan bunuh, demi nyawa-nyawa yang telah kakakku renggut. Maaf Tuhan, aku tidak bisa menyakiti salah satu dari mereka, aku pengecut, takut kehilangan mereka! Aku hanya bisa…mengorbankan diriku sendiri! Velice membulatkan tekad dalam hatinya. “Baik, kak…aku sudah lama menunggu saat ini! Aku penasaran, apa setelah ini kakak masih bisa membunuh orang!” Tanpa ragu Velice menancapkan pisau yang ia pegang ke pergelangan tangannya sendiri. “VELICE JANGAN!“ Mata Rando membelalak ngeri, mengundang penasaran Virion untuk ikut menengok Velice di belakangnya. Kontan pupil mata Virion membesar, terpaku shock melihat darah mengucur segar dari pergelangan tangan Velice. “VELICE!“ Ia mendekat dengan panik. “Kak, bagaimana melihat orang yang disayangi mati terbunuh? Sakit kan?” Velice berlutut lemas, Virion menopangnya. Pelahan air mata menetes di pipi Virion. Tak urung Velice terkejut, tidak pernah ia lihat Virion menangis sebelumnya, bahkan di masa kejadian tragis itu. “Rando, lu nggak apa-apa kan?” Velice puas melihat Rando yang juga panik mendekatinya. “Syukurlah!” Ucap Velice. “Sudah, cepat kabur sana! Jangan pedulikan gue!” Suruh Velice pasrah. Walau kalut dan merasa bersalah, Rando berlari juga meninggalkan tempat itu. Tapi sebetulnya bukan karena ia pengecut atau tidak peduli keselamatan Velice, justru ia akan mengambil inisiatif yang dapat menyelamatkan gadis itu. “Maafkan kakak Velice! Kakak mohon, kamu harus bertahan!” Verion merajuk mirip anak kecil yang kehilangan ibunya. Benar-benar baru kali ini Velice melihat kakaknya menangis heboh seperti anak kecil. Dengan gerakan kalut dan tangan gemetar, Virion merobek segurat kain dari pakaiannya, lalu mengikatkannya kencang di luka Velice, berharap itu dapat banyak membantu. “Rasakan ini kak, pahami rasa sakit ini! Inilah perasaan keluarga orang yang kakak bunuh! Sudah lama aku kesal dengan kebiasaan kakak itu! Apa kakak nggak memikirkan, perasaan kakak korban, perasaan ibunya, ayahnya?” Velice masih belum puas memberi pelajaran ke kakaknya, bibir kecilnya mulai bergetar dan matanya semakin sayu. “Maaf Velice, maaf! Kakak nggak akan ngebunuh orang lagi! Tapi kakak mohon, kamu harus kuat! Kamu jangan banyak bicara dulu!” Virion merasa sangat pedih, kali itu ia benar benar menyesal. Ia pikir semua kenekatan Velice ini pasti karenanya, seorang kakak yang tak patut dibanggakan. Ia sudah kena karmanya. “Kakak janji, nggak akan sakiti sedikitpun Rando ataupun orang lain setelah ini?” Velice meminta keyakinan dari kakaknya. “Kakak janji, kakak nggak perduli lagi dengan dorongan sial itu! Yang penting kamu harus bertahan, kakak cinta kamu, kakak mohon jangan tinggalin kakak! Kakak menyesal Velice, maafkan kakak!” Virion benar-benar merasa bodoh. Ia baru tahu adiknya begitu memendam kesal padanya karena penyakit bodohnya itu, kelainan yang bodohnya tidak pernah ia coba lawan, walaupun itu demi adiknya sendiri. Akhirnya ia malah mengorbankan adiknya sendiri. “Aku rela menahan perasaan tertekan itu selama tinggal bersama kakak! Aku benci kelainan itu, tapi aku nggak bisa benci kakak! Pengorbananku itu lebih sulit dan lebih besar dari yang kakak bayangkan!” Ungkap Velice. “Itulah yang membuatku muram setiap hari kak! Tapi…aku sekaligus bahagia tinggal sama kakak…” Virion hanya sesungukan, menunggu lanjutan kalimat adiknya yang tak kunjung puas berceloteh walau lemah. “Karena aku sadar….aku…nggak bisa hidup tanpa kakak! Setiap hari yang…aku lewati bersama kakak itu pengorbananku…demi terus bersama kakak, walau…harus menahan…perasaan muak itu!” Velice mulai tersengal, susah bicara. Virion mulai terbuka matanya, baru tahu perasaan yang selama ini dirasakan adiknya, penderitaan tinggal bersamanya. “Jika kakak…terobsesi dengan nyawa manusia…maka aku…sebenarnya…terobsesi…dengan…kakak! Tahu…kenapa…kak?” Virion semakin kencang menangis mendengar curahan hati adiknya itu. “Kakak…orang yang paling…aku cintai di dunia!” Ucap Velice lemas, di pandangannya wajah kakaknya semakin kabur. Kabut gelap menutupi pandangannya. “Sudah mulai gelap kak! Ya gelap…bagiku…kakak seperti gelap! Menyeramkan tapi…sekaligus menenangkan….melindungi walau…tak menyenangkan! Aku suka…gelap…karena…dalam gelap…aku…terlindung!” Ucap Velice lebih seperti berbisik mengigau, terpatah-patah. Mata lentiknya mulai menutup, seiring teriakan Virion yang semakin kalut. “VELIIIICEE! BANGUUUN! KAKAK MENYESAAL! MAAFKAN KAKAK YANG SELAMA INI TERLALU LEMAH SAMPAI MENGORBANKAN KAMU! VELIICE, KAKAK CINTA KAMU! KAKAK MOHON KAMU HARUS BERTAHAN!” Dengan kalut Virion membopong adiknya meninggalkan tempat itu, membawanya naik ke jalan raya di tengah hujan yang masih mengguyur. Bermaksud mencari tumpangan walau tak satupun lewat kawasan sepi itu, hingga sepasang lampu depan mobil memberinya harapan. Taksi itu ternyata memiliki penumpang, tapi penumpang di depan menongolkan kepalanya dan segera memerintah. “Cepat naik!” Rando memberi angin harapan.
“Velice?” Suara itu samar-samar tertangkap indera pendengarannya. Tubuhnya lemas, ia tidak yakin ia masih hidup, tapi kalau boleh ia ingin berusaha tetap hidup untuk menemui wajah-wajah yang disayanginya. Matanya berat, tapi ia yakin ia bisa membukanya dan ia akan berusaha membukanya. Usahanya berhasil, matanya berhasil terbuka sedikit dan kesadarannya perlahan bangkit. “Velice?” Nada terkejut dan bahagia terdengar dari sosok yang amat dikenalinya. “Kakak?” Ucapnya lirih. “Kakak nggak menyakiti Rando kan?” Virion tersenyum, manis sekali. “Kakak nggak mungkin menyakiti orang yang menyelamatkan nyawa kamu!” Kakaknya menerawang. “Kakak sudah menyesal!” “Ini baru kakak yang aku sayang!” Ujar Velice salut, terharu karena pengorbannya berhasil. Rando memasuki ruangan, Velice menatapnya senang. Lalu mengingat semua peristiwa yang udah terjadi, ia jadi merasa bersalah membawa Rando masuk ke dunianya yang rumit. “Rando, maaf ya! Inilah kenyataan yang selama ini gue sembunyikan. Kakak gue pembunuh dan maaf, hampir aja lu jadi korbannya! Gue nggak akan salahin lu kalau lu menjauhi gue!“ “Nggak apa-apa, gue udah bisa terima ini kok! Gue sayang lu Vel, jadi jangan pikir gue terpaksa berteman dengan lu! Lu tetap sahabat terbaik dan terunik gue kok!“ Rando menenangkan. “Dan buat pernyataan cintalu waktu itu! Maaf Do! Mungkin gue sempat berfikir gue cinta sama lu, dan mungkin itu benar! Tapi ternyata gue nggak senormal yang lu pikir, gue terobsesi sama orang di sebelah gue ini!“ Velice melirik Virion yang tersanjung. “Dan gue baru sadar, nggak ada yang lebih gue cintai daripada dia!“ Mata Velice menampakkan kesungguhan. “Nggak apa-apa! Gue tetap ikhlas bantulu! Apapun yang bisa gue bantu, minta tolong aja ke gue karena gue ikhlas sayang sama lu! Kita tetap sahabat kan!“ Rando meyakinkan. “Gue benar-benar baru ketemu orang kayaklu do!“ Mata Velice berbinar kagum. Tiba-tiba dari luar ruangan terdengar suara gaduh. Seolah segerombolan orang berjalan menghampiri tempat mereka. Seperti mendengar aba-aba, Virion segera memeluk dan mencium kening Velice yang kebingungan. Muncullah rombongan-rombongan berseragam polisi yang mulai memasuki kamar rawat itu. “Kakak! Kakak!” Velice panik, segera terduduk melihat kakaknya diringkus dengan cepat, kakaknya tidak melawan. “Rando!” Mata Velice menuduh ke satu arah, yang dituduh menggeleng dengan panik dan bingung. “Bukan karena dia Vel!” Ucap kakaknya dengan nada bijak. “Ternyata polisi lebih pintar daripada yang kita duga!” Aku Virion lembut. “Maaf dik! Saya harus menahan orang ini, ini surat penangkapannya!“ Jawab salah satu dari mereka memberikan surat itu ke Velice. Virion masih sempat memberinya senyuman lembut nan bijak sebelum dibawa pergi gerombolan itu. Dan Velice sadar, konsekuensi hukuman dari perilaku kakaknya selama ini bisa merenggut kakaknya selamanya. “Nggak mau! KAKAK! KAKAK!“ Velice mengamuk histeris, lupa dengan rasa lemasnya. Ia lepas jarum infus dari tangannya walau sudah ditahan oleh Rando. Ia coba mengejarnya dengan menyeret-nyeret Rando yang menahan tangannya. “KAKAAAK!” Teriak Velice histeris. Dan disinilah mereka sekarang, berbalut pakaian serba hitam, menebarkan bunga bersama pelayat lain di atas pusara yang masih basah. Tanpa kenal kasihan, pihak berwajib menghukum Virion dengan mengeksekusi matinya. Velice tak berhenti menangis sesenggukan di sebelah Rando yang menenangkannya. Rando meminjamkan bahunya untuk sandaran Velice. Velice merasa gelap itu sudah pergi, gelap yang menenangkannya dan dicintainya hingga rela mati. “Sabar Vel, lu harus kuat! Harus bertahan! Kakaklu pasti nggak mau lu jadi lemah begini!“ Rando menenangkannya. “Ingat ucapan gue, dia lihat lu sekarang! Dia sedih lihat lu sedih, jangan bikin dia tambah merasa bersalah lagi Vel!“ Rando mengeluarkan jurus menghiburnya. “Lu nggak ngerti rasanya Do!“ Velice meremehkan. “Loh, lu lupa? Gue yang ngerasain itu lebih dulu daripada elu, gue pernah kayaklu!“ Rando mengingatkan Velice tentang masa lalunya. “Remember? Life must go on, atau pengorbanan kakaklu menjagalu selama ini akan sia-sia! Lu mau membuat perjuangannya sia-sia?” Velice menggeleng lemah. Rando memeluknya, bersimpati kepada nasibnya. “Apapun yang terjadi lu nggak sendiri, masih ada gue disini! Gue tetap sayang sama lu, gue yang bakal menjagalu, walau mungkin dengan cara yang berbeda!“ Rando berjanji. Velice berjongkok mendekati gundukan tanah itu. “Kak, I love you! Aku janji aku akan kuat buat kakak biar kakak bangga! Nggak ada yang menggantikan kakak di hatiku!” Rando menggandengnya berjalan meninggalkan kuburan itu. Gelap itu telah terkubur, gelap yang berharga sekaligus mencekamkan bagi Velice telah meninggalkannya. Kini Velice berjalan meninggalkan gelap, menuju hidup yang lebih terang, didampingi cahaya di sampingnya. Cahaya itu berjanji akan mencerahkan wajah Velice yang berkali-kali dikelamkan rasa tertekan.
Gelap mungkin membuatku merasa aman, tapi terang membantuku melihat segalanya dengan lebih jelas. Gelap menahanku untuk bersembunyi dan tetap ditempat, tapi terang membawaku lebih peka memperhatikan sekitar dan membuatku berani maju bersamanya. Kalimat itu tercetak jelas di sampul belakang sebuah novel yang disodorkan sebuah tangan kepada Velice. Velice mendongak melihat pemilik tangan itu dan alangkah terkejutnya ia saat menyadari kemiripan gadis itu dengan pria yang fotonya pernah dijumpainya di KTP korban kakaknya. Tapi menuruti tuntutan professionalitas, ia harus tetap tersenyum ramah dan menandatangani novel karangannya itu. “Aku selalu kagum sama mbak dan cerita mbak yang dalam ini!“ Ungkap gadis remaja di depan Velice dengan lugu. “Kalau boleh tahu…apa ini kisah nyata?“ Penasaran gadis itu. Velice hanya menjawab dengan senyum, hanya senyum itu yang menjadi jawaban jika pertanyaan itu terlontar. Entah itu oleh wartawan, presenter acara talkshow ataupun pembaca novelnya seperti ini. Gadis remaja itupun seperti sudah maklum dengan jawaban itu, hanya bisa menerka-nerka jawabannya. Seorang pemuda yang kini terlihat dewasa berjalan cepat mendekati lokasi acara jumpa pengarang dan berbagi tanda tangan itu. Dilihatnya gadis yang dicarinya. “Velice acara ini kapan selesainya? Ingat ya, jam tiga kita harus fitting baju pernikahan!“ Peringat Rando dari kejauhan, terhalang para fans yang masih cukup banyak mengantri. “Iya!” Velice tersenyum sambil menggeleng-geleng geli melihat tunangannya itu. Cahaya telah meneranginya dan kebahagiaan itu telah didapatkannya.


THE END

Oleh: sikhod